Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Nestapa Nasib Buruh di Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi
Di negeri yang konon subur makmur ini, nasib buruh masih nestapa. Mengapa?
Editor: Agung Budi Santoso
Oleh Nasreen Ega
Indonesia sejak zaman dulu dicitrakan sebagai negeri subur makmur gemah ripah loh jinawi. Tapi nasib buruh masih miris. Bahkan rendahnya upah buruh malah dijadikan pemikat daya tarik investasi asing.
Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat). Negara hukum berarti negara yang meletakkan dasar pijakannya hanya pada keadilan, berbagai hal yang terkait pengaturan hukum ketatanegaraan, tata kelola sosial, politik, ekonomi dan sebagainya tertuju hanya pada satu hal yaitu kesejahteraan. Amanat ini jelas termaktub dalam dasar negara berupa Pancasila dan amanat konstitusional berupa UUD 1945.
Sebagai sebuah negara yang menerapkan demokrasi menjadi sistem politiknya maka Indonesia memiliki apa yang disebut dengan Trias Politica atau pembagian kewenangan dimana kewenangan pengelolaan negara dibagi pada 3 lembaga negara yaitu; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Setiap lembaga memiliki tugas dan fungsinya masing‑masing yang hal ini tentu hanya bisa berjalan jika semua elemen memiliki tujuan yang sama.
Negara memiliki hak dan kewajiban, begitu pula dengan warga negara. Hak dan kewajiban ini yang menjadi kontrak sosial dimana negara wajib menjaga hak‑hak warga negaranya, hak warga negara sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD adalah mendapatkan pendidikan yang layak, jaminan kesehatan, jaminan kerja, jaminan keselamatan, jaminan kesejahteraan dan lain sebagainya. Hanya dengan melaksanakan amanat konstitusi tersebut maka cita‑cita kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia bisa terealisasi.
Indonesia Negeriku ; Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur Negerinya dan Juga Sumber Daya Manusianya
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, begitu pula dengan sumber daya manusianya. Bagaimana tidak, ungkapan `Gemah Ripah Loh Jinawi' seakan menggambarkan betapa tentram dan makmur serta suburnya tanah Indonesia. Semua hasil alam melimpah ruah seakan tidak mungkin tanah Indonesia menjadi tanah miskin yang kekurangan. Dari kondisi yang demikian adanya, tentu logikanya hal tersebut berbanding lurus dengan kondisi sumber daya manusia yang ada.
Sumber daya manusia di Indonesia sangatlah berlimpah. Namun sangat disayangkan, bahwa sudah menjadi rahasia umum berlimpahnya sumber daya manusia di negeri sendiri adalah untuk menjadi budak perekonomian para pengusaha lokal maupun luar negeri. Gemah Ripah Loh Jinawi hanya sekedar ungkapan gambaran ke‑elok‑an bumi pertiwi, sementara hasil bumi yang kaya bukan untuk kesejahteraan sumber daya manusianya di negeri sendiri.
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa hampir sebagian besar sumber daya manusia di Indonesia mengisi berbagai lapangan kerja seperti pabrik dan perusahaan sebagai pekerja atau buruh pabrik demi menopang perekonomian mereka. Hal ini tentunya menjadikan keuntungan tersendiri bagi pihak perusahaan maupun negara. Bagaimana tidak, dapat dikatakan menguntungkan perusahaan karena mampu meningkatkan income perusahaan. Sementara menguntungkan negara, karena mampu meningkatkan devisa negara.
Sumber daya manusia yang dimanfaatkan sebagai buruh atau pekerja demi keuntungan perusahaan dan negara tersebut tentu juga harus diperhatikan hak‑haknya sebagai warga negara. Jaminan kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan bagi para pekerja tentu saja harus dioptimalkan dengan baik. Hal itu sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab bagi perusahaan maupun negara. Namun ironis, berbagai macam kasus yang menyangkut pelanggaran hak‑hak para buruh atau pekerja kerap kali terjadi.
Rangkaian Kasus Penyelewengan Hak Pekerja
Siapa yang tak ingat kasus Marsinah, seorang aktivis buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya, Porong yang ditemukan sudah tidak bernyawa lagi di sebuah gubuk pinggir sawah bertepatan di Jawa Timur pada 8 mei 1993? Sebelum ia ditemukan tewas, Marsinah dan para buruh lainnya melakukan mogok total dengan mengajukan 12 tuntutan diantaranya adalah mengajukan kenaikan upah pokok buruh dari Rp 1.700,‑ per hari menjadi Rp 2.250,‑ (Tempo, 09/05/13)
Kasus Marsinah tersebut sampai sekarang masih belum ditemukan titik terangnya. Kasus ini selain melanggar UUD 1945 Pasal 28 D Ayat (1) yang menyatakan bahwa, "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hukum". juga sudah masuk ke dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Namun sangat disayangkan pemerintah Indonesia belum mampu memberikan tindak tegas kepada nasib buruh itu.
Kasus lainnya adalah kasus yang belum lama terjadi di tahun 2013, yaitu kasus perbudakan buruh kuali di Tangerang. Kasus tersebut terjadi setahun silam, namun memberikan gambaran tentang bagaimana kondisi dan nasib para pekerja di Indonesia. Kasus itu terungkap setelah dua buruh pabrik kabur ke Lampung dan melapor ke Polisi. Dalam kasus tersebut si pemilik pabrik kuali memperkerjakan para pekerjanya dengan sangat tidak layak. Para pekerjanya disekap di sebuah ruangan kecil, tidak diizinkan melakukan ibadah, tidak diberikan waktu istirahat yang cukup, mempekerjakan anak dibawah umur, tidak diberi gaji, dipukuli bahkan disiram air panas. Mereka juga dilarang besosialisasi dengan warga sekitar. (Kompas,27/11/13)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.