Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Prabowo-Hatta Harusnya Gugat Juga DPKTb Pileg
Memenuhi hak warga semestinya lebih diutamakan dari pada memenuhi administrasi negara. Dan DKPTb salah satu jawaban pemenuhan untuk itu.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Direktur Lima (Lingkar Madani Indonesia) Ray Rangkuti
Setelah persoalan selisih suara tak jadi andalan sengketa Tim Hukum Prabowo-Hatta, kini persoalan dilarikan ke DPKTb (daftar pemilih khusus tambahan). Cara KPU memasukkan DKPTb sebagai pemilih sah dituduh sebagai dalang kerusakan sistem Pemilu Presiden 2014 dan munculnya pemilih oplosan.
Tetapi, ada tiga hal yang dilupakan ahli Prabowo-Hatta saat memberikan argumennya dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jumat (15/8/2014). Pertama, DPKTb pada dasarnya telah diperkenalkan sejak pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 pada April lalu.
Tak ada satu pun partai politik peserta pemilu memprotes DKPTb, apalagi sampai menjadikan sengketa di MK. Sekitar 700 sengketa pileg yang diajukan parpol, calon anggota legislatif, dan calon anggota DPD ke MK, hampir tak menemukan DPKTb sebagai pokok persoalan sengketa. Artinya parpol setuju DKPTb sebagai solusi menyelamatkan hak politik pemilih.
Jika kemudian DKPTb di pilpres dianggap tidak sah, maka pileg juga tidak sah. Menggugat sistem DKPTb di pileg akan jauh lebih afdol. Soalnya, basis suara pileg adalah daerah pemilihan. Jadi ada kesulitan teknis dan politis untuk memindahkan suara pemilih dari TPS berbeda dengan KTP. Misalnya bagaimana menghitung suara pemilih dengan KTP Sumatera Utara tapi mencoblos di DKI.
Kesulitan seperti ini tak ditemukan di pilpres. Sebab dapil pilpres adalah nasional. Di mana pun memilih, selagi terbukti sebagai WNI, maka dapat mempergunakan hak pilihnya tanpa ada kesultan untuk menetapkan suaranya. Jadi kenapa di pileg boleh tapi di pilpres tidak boleh.
Kedua, DKPTb merupakan terbosan atas kelemahan penetapan DPT (daftar pemilih tetap). Baik buruknya DPT sangat tergantung pada input data yang masuk ke KPU. Satu-satunya input data penduduk dan pemilih hanyalah dari Kementerian Dalam Negeri. Sehebat apapun KPU menyusun DPT, tapi input data kependudukannya tak beres, niscaya percuma. Peran Kemendagri juga harus dilihat sebagai faktor penyusunan DPT. Jika runtutan ini bisa dilihat secara utuh, bisa jadi yang digugat semestinya bukan KPU tapi Kemendagri.
Ketiga, pemohon juga lupa menyebut bagaimana cara menyelamatkan warga yang karena kelalaian administrasi negara terabaikan hak politiknya. Tim Hukum Prabowo-Hatta melihat DKPTb ilegal, tapi tak bersikap atas hak poltik warga yang dirampas negara. Memenuhi hak warga semestinya lebih diutamakan dari pada memenuhi administrasi negara. Dan DKPTb salah satu jawaban pemenuhan untuk itu.