Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Diskriminasi di Kantor Imigrasi: Larang Laki-laki Bercelana Pendek, Perempuan Tidak

Kantor Imigrasi, kata saya, adalah kantor pelayanan publik, yang seharusnya melayani semua warga negara tanpa memandang apapun pakaiannya

Editor: Yudie Thirzano
zoom-in Diskriminasi di Kantor Imigrasi: Larang Laki-laki Bercelana Pendek, Perempuan Tidak
Dok Arfi Bambani
Larangan bersandal jepit dan celana pendek di Kantor Imigrasi Jakarta Timur. Foto diambil Selasa, 26 Agustus 2014. 

Oleh: Arfi Bambani, Warga Duren Sawit DKI Jakarta

KANTOR Imigrasi Jakarta Timur yang berada di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia justru melakukan diskriminasi manusia berdasarkan pakaian dan jenis kelamin. Entah sejak kapan, kantor yang bersebelahan dengan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang ini melarang laki-laki bercelana pendek memasuki kantor tersebut.

Saya yang datang untuk keperluan mengambil paspor anak adalah salah satu yang dihadang masuk karena mengenakan celana pendek selutut dan bersandal jepit kulit. Saya lalu protes, bertanya apa dasar larangan atas warga negara yang mengenakan celana pendek hendak memasuki gedung yang dibiayai oleh pajak rakyat ini. Saya lalu disuruh ke depan, membaca sebuah standing banner yang berdiri di depan pintu masuk.  Menariknya, istri saya yang mengenakan rok mini malah boleh masuk ke dalam kantor.

Larangan tersebut dipampangkan di depan pintu masuk kantor. Saya yang berkunjung pada Selasa, 26 Agustus 2014, menyaksikan standing banner yang bertuliskan "Dilarang Masuk: Bagi Pemohon/ Tamu yang Memakai Sendal Jepit/ Celana Pendek". Di bawah tulisan tersebut terdapat enam gambar.

Tiga gambar di baris atas memiliki tanda silang berwarna merah. Gambar pertama adalah perempuan mengenakan tank top dan hot pants; gambar kedua, gambar sepasang sandal jepit; dan ketiga, gambar orang (tanpa jelas jenis kelamin) bercelana pendek selutut dan memakai sandal jepit.

Sementara tiga gambar di baris bawah diberi tanda centang berwarna putih. Gambar pertama adalah perempuan yang mengenakan kemeja kasual; gambar kedua, gambar sepatu kulit; dan gambar ketiga, gambar orang bercelana panjang dan bersepatu. Kemudian di bagian pojok paling bawah terdapat tulisan "Kantor Imigrasi Klas 1 Jakarta Timur".

Saya masih tetap protes. Saya tanya, itu aturan dari mana? Apakah dibuat Menteri Hukum atau kepala kantor? Saya lalu diberikan nomor telepon pengaduan. Saya lalu menelepon nomor itu dan memperkenalkan diri warga negara yang kebetulan pula seorang jurnalis. Saya menyampaikan protes atas aturan yang diskriminatif ini. Saya lalu diminta menemui Miharno yang mengaku seorang kepala bagian di Kantor Imigrasi. Saya yang bercelana pendek pun masuk ke dalam gedung dengan dikawal seorang petugas pengamanan.

Berita Rekomendasi

Kepada Miharno, saya menyampaikan bahwa Kantor Imigrasi ini melanggar hak konstitusional warga negara untuk bebas berpakaian seperti apa saja, sepanjang tidak dilarang berdasarkan Undang-undang Pornografi. Kantor Imigrasi, kata saya, adalah kantor pelayanan publik, yang seharusnya melayani semua warga negara tanpa memandang apapun pakaiannya. Tak lupa saya bercerita soal almarhum Presiden Abdurrahman Wahid yang bercelana pendek dan bersandal jepit di Istana Presiden.

Tak lama, masuklah dua pejabat Kantor Imigrasi Jakarta Timur lagi, yang menurut Miharno, salah satunya adalah atasannya. Atasannya ini bernama Edi Mariyono.

Kepada ketiga orang itu, saya memperkenalkan diri lagi sebagai seorang warga negara yang kebetulan juga seorang jurnalis di Viva.co.id. Saya menceritakan lagi kronologi saya dilarang masuk. Saya kembali mempertanyakan, apa dasar aturan pelarangan orang berpakaian tertentu untuk masuk ke dalam gedung yang dibiayai oleh pajak rakyat ini.

Miharno menjelaskan, memang tak ada aturan negara atau Kementerian. "Ini aturan di kantor ini saja, budaya," kata Miharno.

Saya lalu berdiri. "Bapak lihat, ini celana pendek lebih dari lutut. Di zaman pergerakan kemerdekaan, Bung Hatta pakai celana seperti ini. Cari saja foto-foto mereka zaman itu. Ini celana formal saat itu. Jadi budaya mana yang Bapak maksud? Jika memang tak boleh betis kelihatan, lalu mengapa istri saya yang pakai rok mini boleh masuk? Apa saya perlu pakai rok mini pula untuk bisa masuk gedung ini?" kata saya.

Tak lama usai mengatakan itu, masuk pesan singkat dari istri saya yang sudah antre mengambil paspor anak. Dia mengabarkan, banyak perempuan pakai celana pendek di dalam gedung, bahkan sebagian bersandal jepit.

Saya lalu menyampaikan SMS itu kepada Miharno dan Edi Mariyono. "Ini diskriminasi, Pak," kata saya. "Laki-laki bercelana pendek tak boleh masuk, sementara perempuan bercelana pendek boleh," kata saya.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas