Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Krisis Negarawan
15 tahun lalu saat banyak kalangan gegap gempita berteriak reformasi sebagai wujud semangat berdemokrasi, saya agak terhenyak.
Editor: Rachmat Hidayat
Saya memandang penting kehadiran negarawan pada saat itu. Maaf, sejak awal saya memandang ada tokoh yang berkuasa justru belum mempunyai kapasitas negarawan secara meyakinkan.
Ternyata setelah menjumpai beberapa tokoh, saya mendapatkan syarat-syarat yang luar biasa untuk mereka bisa berjumpa satu sama lain. Syarat-syarat itu tidak mungkin saya kemukakan dan sulit untuk dipenuhi. Lalu bersama Revrisond Baswir, saya berkesimpulan, bangsa ini telah kehilangan
Sepuluh tahun lewat sudah. Selama itu pembelajaran sosial, ekonomi dan politik telah membuka pandangan baru bagi banyak orang. Sayangnya sejumlah prediksi saya yang negatif tentang bangsa ini yang berpijak pada kebebasan telah menjadi kenyataan.
Jika 30 tahun lalu saya menulis bahwa demokrasi liberal adalah demokrasi saling menihilkan, saling delegitimasi dan transaksional, kini semua itu tegak sebagai sebuah sistem tak tertuliskan. Nah, Pemilu pada 2014 makin mengukuhkan sistem itu.
Lalu kalau pilihannya adalah sistem politik yang gaduh, kenapa mesti risau dengan kegaduhan itu. Jika sistemnya adalah suara terbanyak yang menang, kenapa memaksa musyawarah pada saat kalah.
Jika sikap politiknya adalah diri dan kelompoknya yang utama, kenapa harus sakit hati ketika tidak memperoleh bagian. Inilah penerapan the winner takes all. Ini pula hasil reformasi yang tidak dipahami sehingga menguatkan krisis negarawan pada bangsa ini.