Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mantra Trisakti dan Nawa Cita Tak Kunjung Menunjukkan Keampuhannya
Enam bulan telah berlalu sejak Jokowi-Jusuf Kalla didapuk menjadi Presiden dan Wapres.
Editor: Johnson Simanjuntak
Oleh: Edy Mulyadi*
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Enam bulan telah berlalu sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla didapuk menjadi Presiden dan Wapres. Mantra Trisakti dan Nawa Cita tak kunjung menunjukkan keampuhannya.
Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan entah terbang ke mana.
Padahal, kedua ‘komoditas’ itu adalah jualan andalan Jokowi-JK saat maju sebagai Capres pada 2014 silam. Dengan Trisakti dan Nawa Cita pula mereka menyihir rakyat hingga mengabaikan rekam jejak.
Hasilnya benar-benar ajib. Substansi tergusur oleh hingar-bingar polesan citra. Logika dan nalar publik tersingkir oleh harapan yang membuncah atas sosok baru yang tiba-tiba moncer bak meteor di langit gelap. Lalu, jadilah keduanya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia!
Buat sebagian besar rakyat, ekonomi menjadi hal teramat penting. Rakyat (nyaris) tidak peduli dengan adu otot dan adu licik di ranah politik. Apa yang dipertontonkan para elite tidak lebih dari pamer keculasan dan khianat.
Faktanya, dengan tanpa malu mereka cuma sibuk beseteru sambil asyik menggembungkan pundi-pundi sendiri. Rakyat? Silakan berjibaku dan termehek-mehek mengatasi segala beratnya beban hidup.
Bagaimana sejatinya kondisi ekonomi kita kini? Selasa (5/5) Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan 1 sebesar 4,71%. Angka ini turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang 5,14%.
Rilis BPS tadi sekaligus menjungkalkan prediksi yang masih saja terus ditebarkan para pengamat dan pejabat, bahwa ekonomi kita masih bakal tumbuh sekitar 5%. Entah dari mana mereka memungut optimisme di tengah begitu benderangnya kelesuan ekonomi.
Sejatinya, sirine memburuknya perekonomian sudah meraung-raung sejak beberapa bulan terakhir. Bahkan kalau mau ditarik mundur, sinyal-sinyal ekonomi memasuki ‘lampu kuning’ sudah menyalak, paling tidak, sejak awal 2013.
Saat itu, ekonom senior Rizal Ramli mengingatkan pemerintah tentang terjadinya quatro-deficits sekaligus. Yaitu, defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Pembayaran -U$9,4 miliar, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar, dan defisit APBN plus utang yang lebih dari Rp2.100 triliun. Ini benar-benar bahaya!
Sayangnya, pemerintah mengabaikan warning itu. Padahal, Rizal tidak asal bunyi alias atau cuma piawai berteori. Anggota Tim Ahli Panel Ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa ini adalah tokoh nasional yang terbukti bertangan dingin dalam menyelesaikan berbagai problem ekonomi.
Kebijakan-kebijakan terobosannya sering menyempal dari mainstream neolib, yang tentu saja, tidak disukai para komparadornya di negeri ini. Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur.
Tapi, baiklah. Itu kisah lama. Bagaimana dengan rezim sekarang? Apakah Tim ekonomi di bawah komando Sofyan Djalil bisa membaca tanda-tanda zaman? Kinerja mereka, maaf, benar-benar di bawah banderol.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.