Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Persatuan untuk Kesejahteraan

Nilai kemanusiaan adalah elemen nilai yang harus mengandungi setiap gerak relijiusitas ajaran dan aturan agama dan budaya maupun tradisi.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Persatuan untuk Kesejahteraan
Ist
Direktur Klinik Pancasila menyaksikan serah terima KerupukIkan GALAKSI (Gerakan Aksi Langsung Atasi Kemiskinan Sejak Dini) sebagai perluasan Program SKEMA (Sistem Kerjasama Ekonomi Masyarakat Aktif) di Muara Kamal, Jakarta. 

Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila

TRIBUNNEWS.COM - Sila Ketiga Pancasila yang menyatakan "Persatuan Indonesia" merupakan tatanan kebangsaan. Sukarno dalam Pidato Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni 1945, saat mengenalkan Pancasila ini menegaskan akan persatuan itu. Persatuan terjadi tidak hanya antar neklus sosial kemasyarakatannya melainkan juga dengan bumi alamnya yang diidentifikasi sebagai Tanah Air. Benarlah adanya, karena Bumi dan Alam Indonesia terdiri dari tanah dan sebagian besar air itulah yang menjadikan ciri dan tatanan kebangsaan "Orang Indonesia." Kebangsaan, Nationale stoat, berdiri di atas kesatuan Bumi Indonesia yang, kemudian, menentukan siapa dan apa Manusia Indonesia itu.

Konteks kekinian, Manusia dan masyarakat Indo¬nesia menghadapi tantangan globalisasi. Jika dulu Sukarno mengungkapkan wacana dan wawasan. kebangsaan dengan sungkan, maka sekarang Manusia Indonesia tertuntut untuk menegaskan kem- bali akan Kebangsaannya. Sebab di situ, terbentang fakta keberagaman dan keberbedaan masyarakat Indonesia menghendaki Persatuan dan Kesatuan, yang merupakan modal pembangunan kesejahteraan bersama—sebagaimana kehendak founding fathers dalam mendirikan persatuan kebangsaan "dari semua buat semua."

Sila Ketiga Pancasila ini lebih jauh sebenarnya menegaskan bahwa Persatuan di situ juga berarti bahwa orang perorang, masyarakat antar masyara¬kat saling menjamin keamanan dan keselamatan terhadap dan atas yang lain. Maka dalam praktiknya negara terlibat aktif menyelenggarakan kehidupan masyarakat atau terselenggaranya "Persatuan" yang aman menuju tatanan adil dan sentosa. Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini (GALAKSI) Pancasila menurunkan Bantuan Aktif Ketentraman Masyarakat (BATARA) yang kelak memunculkan neklus-neklus sosial yang aktif membangun dan mengadakan dengan mandiri ketentraman dan kedamaian lingkungannya.

Terkait dengan persatuan, bumi faktual Indonesia adalah beragam dan majemuk. Maka fakta ini tidak menutup kemungkinan munculnya peluang dan tantangan untuk mengolah dan mengelola keberbe- daan dan keberagaman ini menjadi simpul dan nilai perekat persatuan itu sendiri. Dan sila ketiga ini, dengan disokong oleh nilai-nilai sila-sila lainnya, mempunyai peluang dan asas rasional untuk mewujudkan satu tatanan yang bersatu dalam perbedaan dan aman, adil serta sejahtera. Jika wujud ini tercapai, seseorang tidak menutup pintu pun sudah merasa aman karena tentram dalam "jaminan" sila ketiga yang nilai-nilainya terus bekerja dalam relung kehidupan masyarakatnya.

Bantuan Aktif Ketentraman Masyarakat (BATARA) dalam hal ini melibatkan institusi keamanan dan perlindungan masyarakat sendiri. Dan Negara berperan antif mendorong dan menyelenggarakan kehidupan sosial yang tentram dan aman. Kepolisian yang menerima amanat sosial untuk mewujudkan ketentraman masyarakat adalah perpanjangan tanggung jawab Negara dalam mewujudkan cita-cita yang lebih mendasar yaitu "Persatuan yang Tentram.”
Dengan sila ketiga ini, masyarakat dan Manusia Indonesia ditantang kemampuan untuk mewujudkan amanat dari nilai sila ketiga ini; Persatuan dan Kesatuan. Inilah Tujuan Eksistensial Pancasila yang menuntut talenta anak negeri untuk terus mewujudkan cita persatuan nasional republik!

"DARI Sabang sampai Merauke/ berjajar pulau- pulau// sambung menyambung menjadi satu/ itulah Indonesia..// Indonesia tanah airku aku berjanji padamu/ menjunjung tanah airku/ tanah airku In¬donesia//" Penggalan lagu tersebut saat ini terasa kering, sunyi, dan nyaris kehilangan makna. Terlebih jika ditautkan dengan lagu nasional "Tujuh belas Agustus tahun empat lima/ itulah hari kemerdekaan kita// hari merdeka/ nusa dan bangsa/ hari lahirnya bangsa Indonesia/merdeka..//''

Berita Rekomendasi

Lagu pertama itu adalah sosok fisik diri kita, bangsa ini, yang berduduk di hamparan gugus pulau-pulau dalam keberagaman dan keberbedaan yang wantah. Dan ungkapan itu adalah materialisasi kebangsaan.
kita atas bumi dan alamnya. Karena itu, kita lah yang pantas disebut penduduk negeri ini. Suatu kerangka kesatuan alam (Tanah Air) dan manusia (Penduduk negeri) dimana alam menyimpan ragam kekayaan hayati yang indah dihuni manusia yang hidup dalam keragaman tradisi, keyakinan, dan suku bangsa.

Sekarang Indonesia telah merdeka, merdeka dari bentuk penjajahan gaya abad 19-an. Yang, walaupun kita sudah seinci bergeser dari gerbang abad 21, belum tentu merdeka dari penjajahan gaya abad 20-an. Memang Sila ketiga "Persatuan Indonesia," telah mengikat suku-suku dan region-region Hindia-Timur menjadi Indonesia. Akan tetapi, hal ini perlu diingatkan akan ke-Bhinneka-annya yang sewaktu-waktu mengancam kesatuan (Ngatunggal ika)-nya. Semua upaya akan menjadi kosong ruang aplikasinya jika slogan NKRI, Pancasila dan Merah-Putih final pada tataran komitment permukaan, dan konsensus nasional atas ketiga simbol tersebut. Sangat melegakan memang, namun, dalam tataran implementatif, ternyata menyisakan kekhawatiran atas keterpecahan. Sebab prakarsa-prakarsa akan NKRI, pengamal- an Pancasila, pengibaran Panji Merah Putih belum lagi menjadi selendang aktivitas patriotisme (Semangat Kejuangan) dan berjarak pada semangat harian "Orang Indonesia" dalam kemandirian pembangunannya.

Sebab lainnya atas kemandegan proses berbangsa ini ialah minusnya kreatifitas, prakarsa positif dan aktif menjaga kesatuan dan spirit yang menyatukan, serta kohesifitas nilai budaya nasional yang demikian terlantar. Serta kekurangpekaan akan Indahnya Taman Pancasila yang bersemikan kekayaan dan kearifan majemuk yang terbit dari pengalaman dan nilai budaya bangsa.
Jika ini dibiarkan ancaman tidak hanya akan menimpa fisik faktual bangsa ini dan materialnya tetapi juga berarti bangsa ini sengaja menghapus Tujuan Eksistensial bangsa yang terkandung dalam nilai Sila Ketiga Pancasila. Yang artinya kita tidak lagi mempunyai Nationale-staat. Arti lainnya kita menyia-nyiakan bahkan melemahkan apa yang telah dirintis dan dibangun oleh para Founding Fathers kita.

Situasi kekinian bangsa ini terus mendesakkan adanya semangat kebaruan atas apa itu Kebangsaan kita. Untuk itu bangsa ini dituntut untuk segera membenahi kondisi kekiniannya secara faktual, jujur dan tegas. Maka ada Tugas Besar: bagaimana menggalaksikan Pancasila. Terutama mendorong sila ke-3 Pancasila sebagai satu tonggak nilai untuk mengembalikan ordinat kebangsaan kita pada ruh eksistensinya. Sehingga terselenggara Kehendak Perenial Pancasila di atas Bumi kaya hayati, panorama indah yang tak kan bisa dilupakan.

Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini (GALAKSI) nilai-nilai Pancasila menurunkan BASARA (Bantuan Aktif Satukan Amanah Negara Pancasila) kelak menuju persatuan yang hakiki. Dimana rakyat, TNI/Polri dan Komponen Strategis lainnya menya- takan kehendak menjaga pertiwi dengan partisipasi aktif, bertanggung jawab, dan patriotik. Mari kita merenung lalu kembali setelah berserakan dengan kepentingan sendiri-sendiri, kembali pada amanah juang para moyang, amanah luhur para leluhur membangun Indonesia jaya, dimana Kehendak Perenial Pancasila telah diguratkan sepanjang Katulistiwa. Hindari diri dari penyimpangan kehendak batin negeri!!

Pancasila Universalitas Ideologi-ideologi Dunia
Pancasila merangkum hampir semua ideologi-ideologi Dunia, baikyang ada di Barat dan di Timur. Sepertinya hal ini terbaca dengan benar kondisi dan keadaan Dunia waktu itu yang tengah berlomba- lomba memenangkan pertarungan suatu Ideologi Besar Dunia. Pertarungan inilah yang kemudian bergolak memunculkan Perang Dunia II. Perang antara Fasisme dan Liberalisme, yang di sisi lain ditingkahi oleh Komunisme. Usai Perang Dunia II pun giliran Liberalisme dengan etos kapitalismenya saling berseteru dengan Komunisme. Perseteruan dua Ideologi ini memunculkan Perang Dingin yang memilah Dunia menjadi dua blok; Blok Timur dan Barat. Hanya saja dengan keberanian Indonesia mengambil sikap politik luar negeri "Bebas Aktif", Indonesia tidak terkelompokkan ke dua blok itu. Langkah Indonesia ini ternyata banyak yang mengamini di belakangnya hingga lahirlah Gerakan Non-Blok.

Gerakan Non-Blok dan Politik Luar Negeri "Bebas Aktif" merupakan refleksi dan manifestasi dari nilai-nilai etis Pancasila yang hendak menjadikan Watak dan Mental Bangsa ini seimbang. Terlebih pula untuk mewujudkan perdamaian hakiki di muka Bumi, sebagaimana ini merupakan spirit egalitarainisme (Persatuan dan Kebersamaan) dan sisi-sisi patriotis yang diamanahkan oleh Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Jika kita melihat secara komprehensif semua nilai dan bunyi sila Pancasila, maka jelas dan menjelaskan mengapa Indonesia harus mengambil posisi Non-Blok itu atau lebih umum posisi netral dan seimbang. Hanya Indonesia kini tengah menuntu kepada para pemangku pemerintahan untuk menjaga konsistensi posisi keseimbangan ini alias Non-Blok.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas