Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menjaga Keutuhan Negeri
Sekarang kita tidak perlu lagi salah dalam menyikapi pernik benih perusakan bentuk persatuan suku-suku bangsa ini.
Editor: Hasanudin Aco
Sila Kelima Pancasila ini membangun suatu penger- tian bahwa Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Sosial adalah bagi semua, bukan sebaliknya. Keadilan sosial itu ialah tatanan yang bertujuan terciptanya kesejah¬teraan bagi seluruh lapisan. Pertama, kesejahteraan ini mencakup kecukupan pemenuhan kebutuhan hidup, kedua, kesempatan mengakses (kerja) sumber ekonomi- produksi. Maka bagi yang terkebelakang, yang tertinggal dan yang terpinggirkan tetap dimungkinkan terpenuhinya hak-hak kodrati, hak-hak asasi dan capaian-capaian kemuliaan hidupnya ketika dikembalikan ke bingkai sila keadilan sosial.
Aspek Cita ideal ini mengapa perlu diingatkan terus, sebab tak jarang keterpecahan suatu Negara¬bangsa ialah akibat belum terpenuhinya kesejah¬teraan umum rakyatnya dan tidak terselenggaranya keadilan dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Walhasil, apa yang menyulitkan bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukannya ialah akibat dari tangan sendiri enggan menyorong tindakan konkrit untuk maju dan mandiri dengan kejayaan masa depan. Yang perlu diinsyafi bahwa perubahan suatu kaum untuk maju itu bukan diberikan melalui tangan orang lain, melainkan melalui tangan sendiri yang berjuang dan mematri semangat untuk kemajuan bangsa.
SEPANJANG kesadaran generasi antara generasi, sudah terpatri dinamisasi memori kolektif bangsa bahwa negeri ini merupakan negeri kaya yang tak terpermanai. Inilah yang menghadirkan semangat bekerja keras, ulet dan bersahaja penuh rasa syukur pada diri Jatidiri bangsa ini. Maka tepat sekali menurut Sukarno jika Pancasila diperas nilai-nilai sila-silanya akan hanya menjadi satu sila; satu kekuatan, satu harakah, satu spirit Manusia Indonesia untuk Indonesia satu; yaitu Gotong Royong. Gotong Ro- yong adalah suatu semangat kerja keras, ulet dan penuh kesungguhan dalam mewujudkan Persatuan Indonesia dalam kebersamaan dan persatuan itu sendiri.
Dahulu kala, negeri ini menjadi tujuan pelayaran kapal-kapal dagang bangsa Eropa. Tidak hanya Eropa, bangsa Asia seperti Tiongkok sempat berlabuh pada dermaga-dermaga dagang nusantara. Alasan itulah yang menyebabkan bangsa ini kaya dengan pengetahuan tradisi dan budaya bangsa lain. Bahkan menambah kokoh setiap tradisi dan nilai yang menjadi anutan para pribumi. Semua tradisi dan nilai bukannya hilang, akan tetapi bertambah adiluhung dan wibawa setiap perbawanya. Terbentuklah kemudian Budipekerti luhuryang tersemayam dalam sanubari setiap insan di negeri ini.
Generasi berganti generasipun, nilai-nilai ini sejatinya masih ada (eksis); menetap dalam setiap kesadaran yang terdinamisasi oleh memori kolektif akan rupa kekayaan Bumi Ibu Pertiwi. Dan sejak itu pula bangsa ini berkesempatan untuk tampil dan memegang andil dalam percaturan perubahan Dunia. Siapa yang akan menyangkal akan hal ini? Jika bukan kita, bangsa ini, enggan untuk membangkitkan memori kolektif itu. Atau sekedar payah-layah melihat dan mendengar perubahan zaman diseretglobalisasi, tanpa ada Rasa ingin dan usaha bangkit lagi.
Namun bangsa ini harus bangkit dengan segenap kesadaran barunya serta memori kolektif yang mengandunginya. Kini, dalam era keterbukaan, dinamisasi memori kolektif itu telah memanggil kesadaran baru akan pentingnya keterpanggilan untuk membangun negeri ini lebih maju. Masalah kekinian dari setiap problem bangsa ini menuntut untuk ditempuhkan melalui penyelesaian yang penuh kearifan dan dengan mengedepankan sikap altruisme. Maka lambaran sikapnya tentu berdasarkan memori kolektif akan kekayaan bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi. Biartak hilang tak lekang, membentur zaman yang terus berubah.
Dalam membangunkan kembali memori kolektif Generasi ini, kembali pula kita tertuntut untuk membangkitkan tradisi menjaga keutuhan negeri melalui dinamisasi memori kolektif negeri akan kekayaan bumi pertiwi yang menaungi lintasan estafet anak negeri; berupa komitmen menjaga keutuhan negeri, membina negeri, membangun komunikasi sesama anak negeri dan mengisi demokrasi seraya mengatur diri mengarungi globalisasi.
Dalam kata 'Generasi' sendiri muncul sebuah akronim Generasi Pancasila. Generasi Pancasila adalah Gerakan Estafet Nasional Eratkan Rasa-ingin Satukan Indonesia berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan Budipekerti Manusia Indonesia. Mengingat Rasa ingin yang seyogyanya menjadi semangat pacuan membangun negeri ini, perlu dibangkitkan dan dilecutkan di tengah perubahan perikehidupan manusia di segala bidang. Gerakan Estafet Nasional Eratkan Rasa-ingin Satukan Indone¬sia adalah upaya menyambungkan memori kolektif generasi antar generasi secara nasional sekiranya membentuk Rasa Ingin menyatukan Indonesia.
Rasa ingin ini, kelak, tidak hanya berhenti di "menyatukan Indonesia" saja. Tetapi juga Rasa ingin yang merengkuh sikap mau bertindak, mau bergerak, rela berkorban membangun dan mewujudkan kesejahteraan rakyat yang bertopang pada Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Rasa- ingin Satukan Indonesia adalah peluang terbesar memperkokoh pelibatan Persatuan dan Kesatuan yang menyulut 'Obor' Pancasila meluruskan tatanan. OBOR ialah Optimis Bangun Organ Republik berdasarkan Pancasila; suatu sikap optimis, percaya diri dengan limpahan kekayaan alam dan batin negeri untuk memulihkan dan membangun organ republik yakni Konstitusi, Semangat Nilai Pancasila, Budipekerti Tradisi luhur, dan semangat juang rela berkorban.
IBARAT satu tubuh, negara ini memiliki anatomi. Ibarat satu bangunan, negara ini mempunyai struktur. Dari sinilah, dan kerena itu, negara ini dikenal dan dirasakan sosok dan rupanya. Negara akan kokoh bila fundamen negara itu kuat dan rapih menyokong struktur. Pula, organ-nya harus mampu bergerak leluasa sebisa mungkin memberikan ciri kehidupan atas berjalannya tatanan bernegara. Zaman berganti zaman, periode pemerintahan telah silih berganti. Mari tengok bagaimana bentuk masyarakat kita kini.
Hempasan krisis keuangan (moneter) yang melanda Asia Tenggara (1997) turut menyentuh In¬donesia yang berujung membawa perubahan di segala bidang. Perubahan ini dikenal dengan Reformasi. Dari tonggak perubahan ini, Konstitusi kita mengalami perubahan. System presidensiil dipertegas sejak angin reformasi berhembus. Korupsi diberantas dan dicegah di mana-mana. Pemerintah semakin dituntut untuk transparan dalam segala langkah dan kebijakannya. Seiring dengan itu kran kebebasan semakin terbuka. Beberapa orang dengan beratas nama demokrasi tanpa sengaja tak mengindahkan aturan-aturan tatanan sosial lainnya di jalan. Kebebasan ini lebih jauh telah membawa anomali- anomali kebudayaan yang tak sesuai dengan Pancasila dan kepribadian Orang Timur dan Budipekerti Manusia Indonesia.
Reformasi merupakan kata mujarab untuk melambungkan harapan-harapan akan datangnya tatanan perikehidupan bernegara dan bermasya- rakat yang aman adil dan tertib menyongsong kemajuan. Untuk itu fundamen negera telah dikritisi oleh beberapa pakar untuk dibenahi lebih baik dan akhirnya diubah. Konstitusi UUD NRI tahun 1945 yang selama ini tidaksempatdiamandemen, padahal Pasalnya sendiri menyediakan peluang itu, telah mengalami perubahan demi kehendak baik Reformasi itu. Tetapi masyarakat kita tergagap akan perubahan itu, bahkan ada yang menghendaki untuk kembali lagi. Suatu anomali. Bahkan ada yang tak mengerti. Ini satu permisalan tentang keterbelahan kesadaran masyarakat dalam membangun suatu Organ tatanan masyarakat. Sisi lainnya, masyarakat akibat globalisasi telah terdefinisikan secara jauh menjadi suatu organisme yang "hanya" berkecenderungan membangun sisi material dari peradabannya. Resultansinya, dalam diri mereka hadir kegelisahan dan kekosongan dalam menentukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi perubahan. Walaupun ini, tidak sepenuhnya melanda "masyarakat tradisi" kita, seperti di desa-desa itu.
Padahal jika dilihat secara jauh mendalam, hanya Pancasila yang merupakan perasan kearifan yang datang dari kesadaran dan pengalaman hidup para leluhur yang mampu memberikan alternatif nilai dan solusi komprehensif dalam menghadapi perubahan- perubahan ini yang menimbulkan anomali dalam masyarakat kita. Lihat saja Sila Pertama, bukankah kita selalu diajak untuk mengaitkan segala persoalan hidup bernegara dan berbangsa kepada Tuhan Yang Ma ha Kuasa? Sila kedua mengajari kita nilai-nilai kemanusiaan yang mulia baik dalam kehidupan ataupun untuk membangun peradaban. Lalu mengapa kita masih mengindahkan sistem dan nilai asing yang tidak mengenalkan kita pada kedirian kita, kepada jatidiri bangsa terutama nilai kemanusiaan itu yang tersirat dalam Sila Kedua Pancasila? Demikian juga dengan sila-sila lainnya.
Apabila kita benar-benar mempunyai niatan yang tulus dan i'tikad yang kuat untuk Berdikari (berdiri di Kaki sendiri) maka Pancasila telah menyediakan diri untuk menemani, memayungi, dan menghantarkan bangsa ini maju dan berjaya. Tak perlu lagi ada sikap putus asa, gampang menyerah dalam meneruskan cita dan semangat juang '45. Kita tidak perlu lagi menambah ongkos sosial atau ekonomi untuk menciptakan perubah¬an yang positif, jika kita segera kembali ke dalam jatidiri bangsa ini untuk digali, dipahami, dimaknai dan diung- kapkan dengan sebenarnya.
'Obor' Pancasila merupakan satu langkah jitu untuk mengembalikan semangat Generasi Pancasila kembali kepada kediriannya dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Bila ada disintegrasi periferal jangan lupa ada apa dengan struktur dan sentrum kesadaran Republik ini. Maka ialah Pancasila meniscayakan diri untuk segara direstorasi dalam segala perikehidupan anak negeri. OBOR Pancasila adalah Optimis Bangun Organ Republik berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini kita harus bersatu untuk mengokohkan Persatuan Indonesia.
Dengan Obor Pancasila ini secara analog dan simbolis telah jelas segala bentuk pengertian dan maksud dari sila per- tama sampai keempat tertuang dalam sila kelima. Bahwa tujuan kita berketuhanan ialah untuk mengenal nilai-nilai kemanusiaan sehingga kita mengenal pada diri sendiri (Siapa Manusia itu?) setelah mengenal manusia kita bertujuan untuk berkumpul (Jamaah) bermasyarakat sebagaimana tersirat dalam sila ketiga. Maka jadilah Bangsa ini menghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sini kita masih bertujuan mengejar dan meraih suatu tatanan ideal dalam bermasyarakat dan bernegara, oleh karenanya silo keempat memberi banyak siratan pesan dan nilai. Lalu semua itu tentu bertujuan seperti yang dimaksud oleh sila kelima. Alhasil berdirinya NKRI adalah untuk membangun suatu Organ Republik yang bisa melin- dungi yang lemah dan menyejahterakan yang papa dalam satu Jamaah; Republik Indonesia. Mari terus ber-Galaksi (Gerakan Aksi Langsung Amalkan Sejak Dini) Pancasila dengan Bangun Pagi bangun negeri dengan Prestasi. Salam