Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Disiplin Berpikir Benar Perlu Diksimeter

Berpikir benar akan selalu terkait dengan penyelesaian masalah serta peningkatan kualitas kehidupan baik secara pribadi maupun kelompok.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Disiplin Berpikir Benar Perlu Diksimeter
Ist/Tribunnews.com
Ilustrasi. 

Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila

TRIBUNNEWS.COM - Kehidupan menghadapi berbagai masalah mulai dari yang sederhana hingga yang bersifat rumit. Mulai dari masalah pribadi hingga masalah bersama yang harus dihadapi secara bersama-sama juga. Semua itu membutuhkan pemikiran dalam menyelesaikannya. Dan pemikiran yang benarlah yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan hingga tuntas. Pemikiran adalah suatu indikator kehidupan. Kualitas pikiran seseoranglah yang sejatinya menunjukkan kualitas kehidupannya.

Jika kembali memahami pada apa yang diungkapkan oleh Descartes bahwa “aku berpikir maka aku ada”, maka kita akan menyadari bahwa kehidupan inipun sesungguhnya terkait dengan pikiran. Maka tak heran ketika seseorang tidak mampu berpikir benar, ia akan menciptakan permasalahan dalam kehidupan, baik itu permasalahan bagi dirinya sendiri maupun permasalahan bagi lingkungannya.

Berpikir benar akan selalu terkait dengan penyelesaian masalah serta peningkatan kualitas kehidupan baik secara pribadi maupun kelompok. Sedangkan berpikir salah akan menyebabkan suatu permasalahan baik secara pribadi maupun kelompok bergantung pada seberapa jauh signifikansi pikiran tersebut menjangkau kehidupan. Pada berbagai kasus memang pikiran yang benar dan salah tidaklah bersifat hitam putih namun ia bersifat kualitatif dimana makna pikiran yang benar adalah pikiran yang berkualitas sedangkan pikiran yang salah dapat dimaknai sebagai pikiran yang kurang berkualitas.

Pada lingkup kelompok, suatu pikiran yang benar akan mampu membawa peningkatan kualitas kehidupan individu-individu yang ada dalam kelompok tersebut maupun bagi lingkungan yang berinteraksi dengan kelompok tersebut, sedangkan pikiran yang salah akan membawa permasalahan atau penurunan kualitas kehidupan dari individu-individu di dalamnya maupun lingkungan yang berinteraksi dengannya.

Fenomenayang terjadi adalah banyak orang yang tidak siap ketika dihadapkan dengan kebenaran. Masih banyak orang yang belum memahami perbedaan dan makna apa itu logika, hipnosis, kebenaran, kepositifan, psyops, counter psyops, false logic, dan sebagainya. Belum lagi terkait denngan bahasa dan pemilihan kata secara tepat untuk digunakan dalam komunikasi. Hal tersebut pada akhirnya memberi feedbackuntuk mengupas kembali urgensi dari sejarah adanya akademi berpikir benar seperti yang dulu pernah diperjuangkan oleh Aristoteles dan yang pernah diajarkan pada masa awal pemerintahan Islam.

Berpikir benar sesungguhnya mempunyai sejarah panjang yang bisa kita kaji bersama dari berbagai literatur atau menanyakannya kepada yang ahli. Seiring dengan perkembangan pikiran manusia yang juga didukung oleh perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan Computer Science, penggunaan fenomena pikiran ini juga digunakan dalam beragam kepentingan termasuk dalam kebaikan dan keburukan. Hal inilah yg menjadikan munculnya psyops dan counter psyops yang secara khusus mendalami tentang perang informasi (information warfare). Cakupan kajian berpikir benar melingkupi juga ranah pengucapan melalui bahasa baik secara lisan maupun tulisan karena makna dari berpikir benar tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk membangun kebenaran kelompok.

Berita Rekomendasi

Pada ranah sosial ini, penggunaan bahasa menjadi topik bahasan penting baik terkait pemilihan kata atau diksi maupun penyusunan kalimat sehingga bermakna jelas, benar, dan santun. Jelas berarti tidak menimbulkan arti ganda yang dapat mengakibatkan orang lain menjadi salah paham. Benar berarti penyampaiannya sesuai dengan konteks kebenaran yang dikaji atau yang dimaksudkannya. Kemudian santun bermakna bahwa bahasa yang disampaikan berasal dari pikiran yang positif sebagai sumber penggerak perkataan yang disampaikan itu. Keseluruhan dari parameter jelas, benar, dan santun ini menjadi parameter yang digunakan dalam mengukur tingkat ketepatan penggunaan suatu bahasa atau disebut dengan diksimeter.

Aturan-aturan yang diterapkan dalam membangun kedisiplinan berpikir benar ini selain diambil berdasarkan pengukuran diksimeter, juga didasarkan pada aturan-aturan berpikir benar yang mendasari kerja pikiran itu sendiri seperti persepsi, logika, dan bahasa. Persepsi adalah fenomena diterimanya suatu masukan (input) ke dalam sebuah pikiran, sementara logika adalah hukum dari kesadaran universal dalam memproses informasi menjadi suatu informasi yang mempunyai makna benar dan salah, serta bahasa adalah segala sesuatu yang dapat dimaknai oleh pikiran dan menjadi sarana bagi pikiran untuk mengalami kesadaran.

Dengan menerapkan aturan-aturan universal yang bekerja pada pikiran ini, kita dapat membangun suatu kedisiplinan berpikir benar yang bisa diajarkan kepada siapapun dan bersifat terdefinisi, terukur, serta dapat diulang oleh siapapun, yang tertuang dalam ukuran diksimeter. Ini merupakan suatu inovasi dalam ilmu komunikasi. Dengan sifatnya yang bersifat jelas, benar, dan santun, diksimeter dikejawantahkan menjadi suatu bentuk aplikatif dari pikiran yang bekerja dalam mengukur kualitas suatu bahasa dalam komunikasi antar personal. Sifat jelas adalah untuk membangun berpikir benar dalam mengatasi keterbatasan bahasa, sifat benar adalah untuk membangun berpikir benar yang tidak berlawanan dengan logika, dan sifat santun adalah untuk membangun berpikir benar yang tidak berlawanan dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat.

Untuk membangun kedisiplinan dalam membangun kejelasan berpikir, beberapa hal yang dipertimbangkan dari keterbatasan bahasa adalah:
• Proses penerjemahan bahasa sering diwarnai dengan kesalahan-kesalahan
• Kesalahan ini mengakibatkan salah paham atau tidak tersampaikannya pesan yang ingin disampaikan (gagal paham)
• Perbedaan persepsi akibat kesalahan dalam memaknai bahasa sering terjadi di antara sesama manusia
• Keterbatasan bahasa lisan dan tulisan terjadi akibat sifat bahasa lisan dan tulisan itu sendiri yang memang mempunyai peluang untuk terjadi kesalahan dalam penerjemahan ke dalam pikiran.
• Dalam komunikasi sosial, hal ini dapat menimbulkan konflik antar individu maupun kelompok
• Hal ini menjadi semakin sensitif ketika kesalahpahaman diksi terkait dengan suatu keyakinan atau instruksi pada suatu sistem organisasi dan kerjasama.
Untuk mengatasi hal ini, diksimeter dalam membangun kejelasan mengambil peran dengan pertimbangan:
• Diperlukan suatu kesadaran dalam menggunakan diksi secara tepat dan sederhana
• Menyampaikan sesuatu yang rumit secara sederhana
• Pahami tingkat pemahaman lawan bicara/pembaca
• Menggunakan diksi yang biasa digunakan oleh lawan bicara/pembaca
• Menggunakan diksi yang tidak menimbulkan ambiguitas (kerancuan makna)
• Penjelasan hendaknya disertai dengan ilustrasi baik berupa cerita atau gambar
• Jika menyebutkan suatu singkatan, jelaskan kepanjangannya, dan jika hendak menyebutkannya lagi pastikan lawan bicara/pembaca telah mengingatnya dengan baik
• Diksi disesuaikan dengan tujuan atas apa yang ingin disampaikan
• Jika harus menggunakan diksi yang sulit, perjelas dengan definisinya

Contoh pada penggunaan diksimeter untuk kejelasan adalah pada pernyataan “Program revitalisasi kesehatan masyarakat pasca terjadinya penyakit endemik”. Ketika diungkapkan dengan tujuan sosialisasi ke masyarakat, pernyataan tersebut dapat diganti dengan pernyataan “Upaya membangun kembali kesehatan masyarakat setelah terjadinya wabah penyakit menular”. Pada penggunaan diksimeter secara jelas ini, terdapat tiga kelompok pengguna bahasa, yaitu para pengguna yang berpendidikan tinggi, untuk masyarakat umum satu lingkungan, dan untuk anak-anak atau masyarakat terbelakang.

Pada perannya membangun sifat berpikir benar, diksimeter juga mengukur tingkat kebenaran suatu pernyataan yang dituangkan baik dalam bahasa lisan maupun tulisan melalui logika bahasa. Logika bahasa juga membentuk kualitas diksimeter dari suatu bahasa yang disampaikan oleh seseorang. Dengan pengukuran logika bahasa, maka diksimeter juga turut menjaga konsistensi dan komitmen akan kedisiplinan berpikir benar yang dilakukan oleh setiap orang.

Hal-hal yang dipertimbangkan dalam peran membangun pemikiran yang benar, diksimeter melihat pada:
• Konsistensi kata yang digunakan
• Konsistensi makna bahasa
• Konsistensi pemikiran yang mendasari
• Kelogisan suatu hubungan verbal

Contoh penggunaan diksimeter untuk suatu kebenaran dilihat dari aturan-aturan logika verbal seperti yang selama ini telah dirumuskan, yaitu seperti kebenaran dalam melakukan induksi dan deduksi pada pengembangan suatu pernyataan dan analisa suatu kasus, penggunaan silogisme secara benar, dan menggunakan kata yang tidak berubah-ubah untuk menyatakan suatu istilah yang sama. Kajian tentang diksimeter atas suatu kebenaran ini cukup mendalam, termasuk di antaranya diksimeter dapat digunakan untuk membongkar suatu hipnosis logis atau psyops yang merupakan cara-cara yang digunakan dalam mencuci otak manusia secara massal. Misalkan ada seseorang yang berpidato seperti ini:
“Semua orang Medan suaranya lantang dan keras. Rudi suaranya lantang dan keras. Maka Rudi adalah orang Medan.”

Kalimat di atas merupakan contoh kesalahan dalam berpikir dan akan ditangkap oleh diksimeter sebagai suatu bahasa yang tidak benar. Bahasa-bahasa seperti ini merupakan jenis bahasa provokasi yaitu yang membuat kesimpulan secara tidak benar. Namun pada kenyataannya banyak orang yang tanpa sadar terpengaruh oleh bahasa semacam ini. Dalam hal yang lebih signifikan seperti menyangkut politik atau keyakinan, hal semacam ini membawa imbas yang sangat besar pada masyarakat. Itulah mengapa diksimeter perlu melakukan deteksi dan pengukuran atas kebenaran suatu bahasa juga.

Berikutnya pada perannya dalam mengukur kesantunan suatu bahasa, diksimeter mengukur berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti:
• Tidak menyebabkan friksi terhadap nilai-nilai luhur yang berlaku
• Menjunjung kepositifan, tidak menempuh cara-cara negatif seperti emosi negatif, intonasi negatif, gestur negatif
• Tidak menggunaan pemilihan kata-kata yang negatif
Contoh berikut ini akan dapat memberi gambaran pada ukuran kesantunan suatu bahasa:
1. Seorang mahasiswi di Bandung berkata, “Anjing itu lucu sekali”.
2. Dua orang anak muda Bandung yang berteman akrab berkata, “Anjing kemana aja kamu kok jarang nongol?”
3. Tokoh masyarakat Bandung berkata, “Kita harus membersihkan anjing-anjing koruptor itu”.
4. Walikota Bandung berkata, “Para politisi ini kerjanya seperti anjing berebut tulang”.
5. Gubernur Jawa Barat berkata kepada seorang wartawan yang membuat kesalahan berita, “kamu itu anjing ya, menulis berita tidak seperti faktanya. Saya kan tidak pernah melakukan hal itu”.

Dari lima contoh bahasa di atas, dapat dianalisa penggunaan diksinya, yaitu pada penggunaan kata “anjing” dari sisi kesantunan bahasa. Pada kalimat 1, penggunaan kata anjing tidak mempunyai makna negatif, dan secara bahasa ia merupakan bahasa yang baik. Kalimat 2 menunjukkan adanya penggunaan kata anjing yang tidak bernuansa negatif pada lingkup tertentu, yakni terkait dengan kebiasaan dan kondisi yang berlaku di suatu wilayah. Sedangkan pada kalimat 3, penggunaan kata anjing sudah bernada konotatif namun masih bisa disebut netral, yaitu tidak santun dan tidak kotor juga karena yang dimaknai adalah koruptor yang dalam pandangan umum adalah common enemy. Pada kalimat 4, penggunaan kata anjing sudah bermakna kotor karena ditujukan kepada para politisi dimana secara makna, politisi itu bukanlah sesuatu yang buruk, dan ditambah lagi yang mengucapkannya adalah seorang walikota maka menjadi tidak pantas. Pada kalimat 5, penggunaan kata anjing bermakna sangat kotor dan sangat sangat tidak santun karena pengucapannya ditujukan langsung kepada orang yang dimaksud untuk menghina orang tersebut, dan yang mengucapkannya juga seorang public figure yang dalam hal ini adalah seorang gubernur.

Itu semua baru sedikit contoh-contoh dari penggunaan diksimeter dalam membangun kedisiplinan berpikir benar. Dengan diterapkannya diksimeter sebagai ukuran suatu bahasa, maka peradaban akan mengalami perubahan yang signifikans karena bahasa merupakan jembatan emas dalam mempengaruhi pikiran setiap individu. Bahasa yang positif akan langsung memberikan program positif bagi pikiran dan dalam semua interaksi akan berlangsung secara lebih positif. Dengan membudayakan berpikir dan berbahasa dengan menggunakan diksimeter yang positif maka setiap karya dan perilaku individu-individu di berbagai organisasi dan masyarakat juga dengan efektif akan mengalami perubahan ke arah yang jelas, benar, dan santun. Tentu ini adalah suatu wajah peradaban yang positif dan memberdayakan.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas