Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mentalitas Bobrok Rongrong Layanan Terpadu
Pembentukan PTSP didaerah masih ditemukan banyak potensi pungutan liar dalam sektor izin usaha.
Ditulis oleh : Lucia Julisa Prihatin, STAR BPKP Batch 5, Magister Akuntansi FEB, Universitas Gadjah Mada
TRIBUNNERS - Reformasi birokrasi yang digaungkan dalam nawacita presiden Jokowi salah satu nya di bidang Perijinan terpadu.
Menurut Peraturan Presiden No.97 tahun 2014 yang dimaksud dengan perijinan terpadu satu pintu adalah kegiatan suatu perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat.
Tujuan dibentuknya PTSP sendiri adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum pada masyarakat, memperpendek proses pelayanan, mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti dan terjangkau, dan mendekatkan dan memberikan pelayanan yang luas kepada masyarakat.
Tetapi pada kenyataannya dalam pembentukan PTSP di daerah masih ditemukan banyak potensi pungutan liar dalam sektor izin usaha.
Pasalnya, birokrasi di level daerah dinilai berbelit dan melibatkan banyak lapis pegawai negeri.
Hasil investasi Ombudsman di beberapa daerah menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih berusaha menjadi calo di sektor izin hotel, restoran, dan usaha lain.
Ombudsman menemukan lima bentuk maladministrasi oleh pegawai negeri dalam sektor tersebut. Pertama, penyimpangan prosedur.
Fenomena di lapangan kerap kali ditemukan pegawai negeri tidak menginformasikan syarat, prosedur, dan tarif pengurusan izin.
Bentuk penyimpangan kedua, permintaan atau imbalan lain seperti jamuan makan.
Penyimpangan yang ketiga pegawai menerima permohonan pengurusan izin yang bukan menjadi kompetensinya.
Pada investigasi ini juga didapati pegawai negeri yang tidak menjelaskan tata cara pengurusan izin dan menyerahkan kepada petugas lain atau calo.
Penyimpangan yang kelima adanya praktik meminta imbalan dalam kepengurusan izin.
Segelintir oknum-oknum calo ini biasanya memanfaatkan para pembuat izin yang merasa malas dan tidak punya waktu untuk mengurus pembuatan izin usaha nya ke kantor perizinan.
Banyak ditemukan kasus di lapangan oknum PNS yang berasal dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berpura-pura datang untuk mengecek surat-surat izin usaha sambil menawarkan bantuan untuk mengurus perizinannya.
Padahal dengan melalui jasa mereka biaya pengurusan izin menjadi membengkak dari nilai resmi yang ditetapkan Pemerintah.
Menurut pakar etika Manuel G Velasquez, etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan masyarakat.
Etika mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar ini masuk akal atau tidak.
Etika dalam konteks Birokrasi menurut Dwiyanto adalah, “Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas."
Etika birokrasi disini mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela.
Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil seorang pelayan publik yang baik seharusnya melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab dengan cara memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada masyarakat.
Dan menghapuskan rumor yang dihembuskan mengenai pelayanan publik yang sering dikatakan, "Kalau bisa dipersulit buat apa dipermudah."
Pemerintah daerah dan SKPD yang terkait dengan perizinan ini semestinya menindak tegas para calo-calo perizinan dengan memberikan sanksi yang berat bahkan memecat PNS yang terkait dengan kasus ini sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada aparatur sipil negara dan menegakan kembali reformasi birokasi.
Seperti yang terkandung dalam dasar hak moral Rumusan Kedua Perintah Kategoris Immanuel Kant, “Jangan pernah memperlakukan orang hanya sebagai sarana, namun juga sebagai tujuan."