Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Lahan Persawahan Mereka Ditutup dan Diduduki Warga Batang Lakukan Aksi Protes
Satu hari menjelang tenggat waktu perjanjian pencairan dana proyek PLTU batubara Batang, warga yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Kar
Ditulis oleh : Greenpeace Indonesia
TRIBUNNERS - Satu hari menjelang tenggat waktu perjanjian pencairan dana proyek PLTU batubara Batang, warga yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban) menggelar aksi penolakan di sekitar lahan megaproyek energi kotor itu.
Aksi protes kali ini terpusat pada tenda perlawanan warga yang sudah didirikan sejak dua minggu yang lalu sebagai bentuk protes atas pemagaran dan penutupan akses lahan warga ke lahan persawahan mereka.
Sejak tanggal 24 Maret 2016, Konsorsium PT. BPI (Bhimasena Power Indonesia) telah melakukan pemagaran dan penutupan akses sepenuhnya terhadap lahan pertanian warga yang dijadikan lokasi pembangunan PLTU batubara yang diklaim sebagai salah satu yang terbesar di Asia Tenggara itu, termasuk lahan yang tidak pernah dijual sekalipun.
Bahkan bagi warga yang memaksa masuk, akan dikenakan sanksi pidana dan diancam akan dipenjarakan selama 9 bulan.
PT BPI dan Japanese Bank for International Cooperation sebagai pendana utama telah gagal memenuhi tenggat waktu perjanjian pencairan dana sebanyak empat kali, berturut-turut sejak 6 Oktober 2012, 6 Oktober 2013, 6 Oktober 2014, and 6 Oktober 2015.
Rencana pembangunan proyek energi kotor ini telah tertunda selama hampir lima tahun karena penolakan yang kuat dan konsisten dari warga yang tinggal di sekitar area yang diusulkan untuk lokasi pembangunan.
Hingga saat ini, sebagian pemilik lahan menolak untuk menjual lahan mereka. Sekitar 10% dari 226 hektar yang dibutuhkan proyek tetap dipertahankan warga, karena lahan pertanian produktif tersebut merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian mereka.
"Perjuangan saya dan warga lain untuk mempertahankan sumber penghidupan kami telah berlangsung hampir lima tahun, berbagai hal harus kami hadapi, mulai dari intimidasi, kekerasan fisik, sampai kriminalisasi, saya sendiri dipenjara selama lebih dari 7 bulan karena menolak menjual lahan saya kepada PLTU, namun sampai hari ini sepertinya suara kami sama sekali tidak didengar oleh pemerintah, baik oleh Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, maupun Presiden Joko Widodo. Saya sudah tidak tahu harus kemana lagi harus mengadukan nasib kami ini di negeri ini," kata Pak Cayadi, salah seorang pemilik lahan dari Desa Karanggeneng.
Berbagai upaya telah dilakukan dilakukan warga untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap proyek energi fosil ini, mulai dari melakukan puluhan kali aksi protes di berbagai lokasi, audiensi dengan hampir semua instansi pemerintahan terkait hingga mengajukan gugatan hukum terhadap berbagai keputusan pemerintah yang mengabaikan kelestarian lingkungan, keselamatan, dan hak asasi warga.
"Apa yang terjadi di Batang adalah sebuah ironi, ambisi pemerintah untuk melanjutkan pembangunan PLTU Batubara Batang, menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan korporasi daripada keselamatan rakyat Batang," kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
"Keputusan untuk memaksakan pembangunan proyek energi kotor ini juga bertolak belakang dengan komitmen Presiden Jokowi untuk mengutamakan pengembangan energi terbarukan dan ikut serta dalam upaya memerangi perubahan iklim pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris, akhir tahun lalu."