Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perancang Garuda Pancasila Belum Diakui
Upaya pelurusan sejarah lambang negara Indonesia sudah berlangsung sejak 16 tahun lalu, tepatnya sejak tahun 2000. Ikhtiar ini dilakukan, salah satuny
Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Upaya pelurusan sejarah lambang negara Indonesia sudah berlangsung sejak 16 tahun lalu, tepatnya sejak tahun 2000. Ikhtiar ini dilakukan, salah satunya terkait pandangan bahwa konstitusi negara kita belum mengakomodir atribut dan kelengkapan negara.
Dalam UUD 45 misalnya, sebelum dilakukan amandemen, hanya ditegaskan ketentuan mengenai bahasa dan bendera negara. Ketentuan itu belum menjawab rumusan penting mengenai lambang negara dan lagu kebangsaan.
Karena itulah, dilakukan amandemen yang turut memasukkan posisi Garuda Pancasila sebagai lambang negara, dan lagu Indonesia Raya sebagai kebangsaan.
“Itu adalah bagian dari ikhtiar kami, bersama masyarakat Pontianak dalam mengawal pelurusan sejarah dan konsitusi kebangsaan kita,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Turiman Fachturahman Nur.
Pernyataan itu disampaikan Turiman saat menjadi pembicara dalam seminar “Meluruskan Sejarah Sultan Hamid II, Sang Perancang Lambang Negara Republik Indones,” yang digelar di Ruang Rapat KK I DPR, Kamis (21/4/2016).
Atas pertimbangan itu, akhirnya amandemen UUD 1945 menambahkan pasal 36a, 36b dan 36c yang menyebutkan posisi Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Sebagai rekomendasi tambahan, pasal 36c menyebutkan bahwa regulasi tentang bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan akan diatur dengan undang-undang.
Atas dasar itulah, kemudian lahir UU No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Meski begitu, menurut Turiman masih ada yang belum lengkap dalam regulasi itu.
“Dalam UU No. 24 tahun 2009, ketentuan tentang lagu kebangsaan dicantumkan beserta penciptanya, tapi terkait lambang negara Garuda Pancasila tidak dicantumkan perancangya,” kata Turiman.
Dalam hemat Turiman, akan lebih relevan ketika nama Sultan Hamid II juga dicantumkan sebagai perancang Garuda Pancasila selaku lambang negara.
Hal itu, menurut Turiman, akan menjawab dilema kebangsaan tentang status Sultan Hamid II, yang sejauh ini perannya cenderung terabaikan.
Meski status Sultan Hamid juga masih terhambat status hukumnya sebagai terpida kasus pemberontakan Westerling, namun status itu juga masih meragukan. Hal itu disampaikan oleh pakar Hukum Pidana, Prof Andi Hamzah.
“Tuduhan bahwa Sultan Hamid II terlibat dalam pemberontakan Westerling sangatlah lemah, dan cenderung tidak terbukti,” tutur Andi Hamzah.
Meskipun begitu, Sultan Hamid II akhirnya tetap divonis bersalah, dan dihukum penjara 10 tahun.
Saat ini, menurut Andi Hamzah, sangat terbuka kemungkinan bagi ahli waris Sultan Hamid II untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan itu.
Keberhasilan dalam proses peninjauan kembali itu akan sangat berpengaruh terhadap pembersihan nama Sultan Hamid II dan pengakuan kembali perannya dalam proses pembentukan NKRI.