Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Cerita di Balik Perdebatan Definisi Soal Politik Uang
Perdebatan politik uang tidak pernah selesai mulai dari tataran teori, teknis dan penyelesaian kasus dari tahun ke tahun.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Saat ini polemik mengenai defenisi politik uang yang “sempit” atau tidak jelas menjadi semacam kritik terhadap pembuat Undang-Undang,
Namun hal-hal demikian yang dilontarkan pihak-pihak kritis pegiat pemilu menjadi warna tersendiri bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Kami pun KIPP Indonesia ingin turut serta menggoreskan warna menjelang pelaksanaan Pilkada, khususnya tentang politik uang.
Paskapengesahan Revisi Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menimbulkan prahara pandangan yang mengarahkan opini publik.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah perdebatan terkait politik uang yang dijadikan pijakan hiruk pikuk indikator integritasnya proses penyelenggaraan dan produk pilkada.
Padahal perdebatan politik uang tidak pernah selesai mulai dari tataran teori, teknis dan penyelesaian kasus dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu, ada baiknya kita kaji secara objektif tentang persoalan ini.
Berikut pandangan KIPP Indonesia mengenai politik uang dalam konstestasi demokrasi, yang menjadi polemik dan perdebatan akhir-akhir ini:
Pertama, Politik uang secara sederhana adalah bentuk pemberian uang dari pasangan calon kepala daerah dan/atau tim pemenangan kepada; (1) pemilih untuk memilih; (2) penyelenggara untuk membantu pemenangan atau meloloskan kecurangan; (3) partai untuk pengusungan pencalonan.
Semuanya dinamakan politik uang karena persepsi pemberian “uang” kepada pihak lain untuk memenangkan kontestasi demokrasi eksekutif daerah.
Dengan melihat Pasal 73 ayat (1) Revisi kedua UU Pilkada menyebutkan bahwa “calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih”.
Demi mempertegas ketentuan yang dikatakan sebagai frase “politik uang” maka dijelaskan bahwa “yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan, biaya transport peserta kampanye, hingga biaya pengadaan bahan kampanye.
Kedua, semua perdebatan terkait politik uang ini menjadi dilema mengingat “biaya makan”, “biaya transport peserta kampanye”, “biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog” dan hadiah lainnya.
Perdebatan terkait uang tunai dan nontunai menyeruak hingga ke jagad opini para pemerhati, politisi dan penyelenggara pilkada.
Padahal uang tunai atau barang yang diberikan dari pasangan calon dan/atau tim pemenangan adalah uang yang berasal dari sumbangan dana kampanye oleh perseoarangan atau badan publik.
Ketiga, sengkarut masalah “uang” ini dimulai dari dana pemenangan dari perseoarangan dan badan publik kepada pasangan calon kepala daerah melalui rekening pemenangan yang telah didaftarkan dengan jumlah yang disepakati Pasal 74 ayat (5) yaitu 75.000.000 untuk sumbangan pribadi dan 750.000.000 untuk badan swasta.
Dana ini tentunya masuk dan dikelola oleh pasangan calon kepala daerah melalui tim pengelola keuangan pemenangan sesuai dengan program memenangkan pesta pemilihan kepala daerah.
Keempat, namun demikian, sebelum mengkaji apakah kampanye sebatas menjaga kekuatan potensi pemilih atau perjuangan mulai mendidik rakyat akan pendidikan politik.
Kita harus melihat sisi lain Pasal 65 ayat (1) yang sering kita lupakan.
Bahkan kampanye terasa sebagai kewajiban yang tidak boleh dicederai walaupun sebenarnya menjadi keikhlasan dari pasangan calon, partai pengusung, tim pemenangan dan rakyat.
Di balik perdebatan kampanye dan politik uang yang terlanjur memeriahi media massa dan televisi.
Mari kita baca sedikit tinjauan sosial kemasyarakatan dalam bentuk hidup dan penghidupan manusia.
Saat ini, manusia hidup dengan memenuhi kebutuhan baik itu sandang, pangan dan papan.
Kebutuhan manusia ini harus dipenuhi dengan satu cara yaitu transaksi uang.
Memang uang bukan segalanya tetapi segalanya membutuhkan uang.
Uang bukan alat pengukur suatu kebaikan tetapi sebatas alat tukar dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kelima, dalam kehidupan yang sangat sulit dan penghidupan masih susah serta masih banyaknya masyakarat yang hidup belum sejahtera membuat dilema pengharapan uang menjadi sangat besar.
Jangan melarang seseorang untuk mendapatkan uang jika kita tidak bisa memberikan uang kepada mereka melalui jalan halal sesuai amanah berdirinya bangsa dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Keenam, benar pemberian uang harus diatur secara menyeluruh dalam kampanye politik.
Benar juga bila pemberian uang akan mengajarkan transaksi politik bukan pendidikan politik. akan tetapi benar juga bahwa sedikit “uang” dari menghadiri kampanye bisa digunakan untuk membeli sayur mayur yang akan dimasak di esok hari.
Melihat situasi pahitnya kehidupan di zaman edan penuh intrik politik dan hamburan janji, perlu dikaji ulang terkait uang dan politik uang.
Bahwa pemberian uang harus ditingkatkan dan politik uang wajib dihilangkan.
Keduanya bak mata uang logam yang saling berkaitan dan tak terpisahkan di zaman sekarang.
Oleh karena itu, mari sepakat politik uang itu adalah lembaran uang di dalam amplop saat “serangan fajar” atau pemberian hadiah dan/atau uang kepada penyelenggara pilkada demi mendapatkan kemudahan dan pertambahan jumlah suara pemilih.
Politik uang adalah seperangkat usaha yang dilakukan dalam menjalan program pencapaian kepentingan pribadi/kelompok untuk memenangkan kontestasi pesta demokrasi melalui cara membeli apapun dengan label halal agar mencapai kemenangan komunitasnya.
PENULIS:
Andrian Habibi
Koordinator Kajian KIPP Indonesia