Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Refleksi Setahun Perjalanan Implementasi Dana Desa
Kebijakan dana desa telah banyak menuai kontroversi dari pengamat kebijakan publik, politikus, hingga akademisi, baik dalam bentuk tulisan maupun lisa
Ditulis oleh : Febriana Dewi Lestari, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung (ITB)
TRIBUNNERS - Kebijakan dana desa telah banyak menuai kontroversi dari pengamat kebijakan publik, politikus, hingga akademisi, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam forum publik.
Kebijakan yang berdasar pada UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa ini memulai kontroversinya dari awal persetujuan pengadaan alokasi dana desa yang bersumber dari APBN, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana Desa.
Kemudian, dalam alur pemindah tanganan dana desa juga mengalami banyak kendala, terutama dalam transparansi transfer dana desa dan mekanisme pencairannya.
Selain dari sisi alur, substansi dana desa juga masih mengandung permasalahan tersendiri, yakni perhitungan alokasi dana per desa yang belum berkeadilan dan akuntabilitas dana dalam pelembagaan masyarakat desa yang belum jelas.
Sebuah kebijakan yang tergolong masih relatif baru dan mulai dioperasikan pada tahun 2015, alokasi dana desa banyak memunculkan konflik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di dalamnya.
Bagaikan sebuah koin mata uang yang mempunyai dua sisi, kebijakan alokasi dana desa juga pasti mempunyai sisi positif dan negatif. Perlu diperhatikan bahwa setiap kebijakan pasti sudah ditimbang kekuatan dan kelemahan dalam implementasinya. Kritik yang berlebihan terhadap suatu kebijakan justru akan mengombang-ambingkan ‘energi’ positif didalamnya yang lambat laun akan digugurkan oleh stigma negatif yang berkembang sehingga mengerdilkan salah satu sisi.
Oleh karena itu, perlu kebijaksanaan untuk melihat lebih dalam sebuah fenomena pro-kontra kebijakan, dalam hal ini terkait kebijakan alokasi dana desa, dengan menarik benang merah dari tujuan awal, potensi dan permasalahan yang ditimbulkan, hingga rekomendasi yang ditawarkan untuk memperbaiki implementasi kebijakan yang sudah berjalan.
Pada hakikatnya, adanya kebijakan alokasi dana desa ialah untuk meningkatkan kesejahteraan dan memeratakan pembangunan desa. Ketimpangan wilayah yang terjadi di Indonesia, terutama karena pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan yang tidak merata, menjadi alasan utama pemberlakuan kebijakan alokasi dana desa.
Dewasa ini, pemerintah masih terkesan sentralistik dalam membangun wilayah dengan mengagungkan pembangunan di perkotaan, sedangkan perkembangan wilayah perdesaan masih termarjinalkan.
Pembangunan yang masih sentralistik diperkotaan secara tidak langsung menjadikan perkotaan mampu menarik minat penduduk untuk tinggal dan mengadu nasib di dalamnya.
Di lain sisi, perdesaan tidak terperhatikan dan semakin mengalami keterbelakangan dalam perkembangan wilayahnya.
Pada akhirnya, penduduk perdesaan terdorong untuk bermigrasi ke kota dengan segala kesempatan dan fasilitas yang ditawarkan di perkotaan. Menurut proyeksi demografi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat urbanisasi pada tingkat nasional diproyeksikan mencapai 66,6 persen pada tahun 2035.
Terutama tingkat urbanisasi di Pulau Jawa dan Bali pada tahun 2035 sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total.
Perpindahan dari desa ke kota menyebabkan kota menjadi over-population dengan segala permasalahan yang menyertai.
Kemacetan lalu lintas, transportasi massal yang belum memadai, pengangguran tenaga kerja non terampil merupakan beberapa contoh dampak sosial ekonomi yang terjadi akibat perkotaan yang sudah melampaui kapasitas daya tampungnya.
Pedesaan, dengan ciri wilayah yang ditinggalkan oleh penduduknya yang bermigrasi ke kota, kehilangan daya tarik dan semakin tertinggal perkembangan pembangunannya, serta kehilangan tokoh pemuda yang seharusnya menjadi agen perubahan untuk perdesaan.
Hal tersebut dikarenakan permasalahan-permasalahan pada umumnya yang terjadi di perdesaan, seperti keterbatasan mata pencaharian, kurangnya kesempatan kerja non-pertanian, penurunan investasi petanian, kurangnya pembangunan kawasan perdesaan, kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, dan ketidakmampuan pemain lokal dalam memanfaatkan peluang pasar global.
Untuk itu, perlu adanya ‘penyeimbang’ sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan.
Keseimbangan pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada perdesaan untuk berkembang melalui alokasi dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat.
Pada dasarnya, selama ini pembangunan perdesaan terhambat salah satunya dikarenakan unsur pembiayaan pembangunan perdesaan yang masih minim.
Dana desa tersebut diberikan sebagai modal bagi perdesaan untuk mengembangkan wilayahnya dengan kewenangan pengelolaan dan pengaturannya diberikan kepada pemerintah/perangkat desa untuk menentukan prioritas pembangunan masing-masing desa.
Permasalahan dan potensi yang dimiliki antara satu desa dengan desa lainnya tentu berbeda. Pemberian kewenangan terhadap desa untuk mengatur wilayahnya sendiri merupakan wujud implementasi dari proses desentralisasi di negara ini.
Kerangka besar pemberian dana desa diharapkan dapat menyediakan dan/atau meningkatkan akses terhadap masyarakat desa terhadap sumber daya lokal dan pengentasan dari kemiskinan.
Akses yang disediakan tentunya mengacu pada dua objek pembangunan yang harus diperhatikan, yaitu objek fisik sebagai tempat pembangunan dan objek manusia sebagai aktor pembangunan.
Memperhatikan hal tersebut, penyediaan akses perdesaan dapat melalui pengembangan dan peningkatan infrastruktur dasar kawasan perdesaan, pengembangan ekonomi lokal, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Ketiganya mempunyai keterkaitan untuk pembangunan wilayah perdesaaan.
Pengembangan infrastruktur dasar perdesaan sebagai bentuk fasilitasi terhadap kebutuhan masyarakat desa yang diharapkan dapat memenuhi kapasitas akses masyarakat terhadap pelayanan dasar sehingga mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.
Selain itu, peningkatan infrastruktur dasar digunakan sebagai investasi awal guna membangkitkan aktivitas ekonomi perdesaan.
Ekonomi wilayah dapat tumbuh dan berkembang karena adanya potensi dasar lokal dan fasilitas penunjang kapasitas perekonomian.
Setiap desa diharapkan mampu mengetahui potensi sektor ekonomi basis yang dapat ditumbuh-kembangkan di masing-masing wilayahnya.
Sektor basis ini dapat berupa sektor primer, sekunder, dan tersier.
Sebagian besar perdesaan di Indonesia masih memanfaatkan sektor primer, berupa pertanian, untuk menggerakkan perekonomiannya.
Namun, untuk menambah nilai produksi, pemerintah desa harus mengupayakan inovasi untuk menggerakkan kegiatan perekonomian lainnya di sektor sekunder berupa industri pengolahan pertanian dan sektor tersier berupa jasa berbasis agro industri.
Ketersediaan kapasitas pembangunan perdesaan berupa infrastruktur dasar dan ekonomi lokal yang terbangun, diharapkan dapat mendatangkan investasi ke perdesaan yang nantinya akan semakin membangkitkan perekonomian perdesaan dan mengakibatkan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
Hal tersebut dapat menjadi sebuah solusi dari permasalahan-permasalahan dalam konstelasi perdesaan.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa penyiapan kapasitas sumber daya manusia lokal perdesaan juga sebuah urgensi guna meningkatkan nilai tambah dan pembangunan perdesaan yang berkelanjutan.
Masyarakat desa sebagai objek dan aktor pembangunan perdesaan harus mempunyai kontrol dan peran yang lebih besar.
Peningkatan kapasitas SDM lokal dapat melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan kewirausahaan penduduk lokal.
Aktor lokal harus mampu menjadi aktor utama dalam pembangunan perdesaan, jangan sampai malah terpinggirkan dan hanya menjadi penonton.
Berbicara mengenai pembangunan yang berkelanjutan, tidak dapat dihindarkan dari tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam keberlanjutan, yakni integrasi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Sebagian besar perdesaan di Indonesia masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam sebagai basis ekonomi wilayahnya.
Oleh karena itu, aspek lingkungan yang mayoritas masih kurang mendapat perhatian harus segera ditindak lanjuti dengan kebijakan dan strategi untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mungkin terjadi.
Menilik pada beberapa faktor diatas, dana desa merupakan sebuah peluang yang sangat besar untuk pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan.
Peluang tersebut diharapkan dapat ditangkap dan dimanfaatkan oleh pemerintah/perangkat desa dan jajaran pemangku kepentingan desa lainnya dengan baik.
Selain itu, dibutuhkan partisipasi masyarakat desa untuk menyongsong penghidupan perdesaan yang lebih baik.
Menyikapi kritik terhadap kebijakan dana desa, sebuah kebijakan pemerintah memang harus dikawal bersama di negara berasaskan demokrasi seperti di Indonesia ini, apakah implementasinya berjalan dengan baik, lalu apakah output nya lebih banyak menghasilkan sisi positif atau negatif.
Adanya berbagai kritik terhadap implementasi dana desa merupakan input bagi kebijakan dana desa agar berkontribusi lebih baik kepada pembangunan perdesaan dan menjadi tantangan impelementasi dana desa ke depannya.
Mekanisme pembiayaan pembangunan perdesaan oleh dana desa penting untuk diperhitungkan.
Dengan pelibatan dana desa yang mencakup pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perangkat desa, diharapkan transparansi penyaluran dana secara vertikal tersebut harus jelas mekanisme dan tenggat waktu penyalurannya untuk meminimalisir adanya mafia-mafia pemangkas dana desa oleh pihak-pihak tertentu.
Tak hanya secara vertikal, transparansi penyaluran dana desa juga harus berjalan secara horizontal, yakni dengan adanya transparansi pengelolaan dan penggunaan dana desa dalam kegiatan pembangunan perdesaan di dalam tataran masyarakat.
Tantangan implementasi dana desa lainnya, yakni perlu adanya pengawalan dan pengawasan dari pihak-pihak terkait dana desa dengan berbasis collaborative governance yang melibatkan kolaborasi dan kerjasama antara pemerintah pusat, daerah, dan perangkat desa untuk mendukung pelaksanaan dana desa.
Kolaborasi dan kerjasama antar pemangku kepentingan terhadap jalannya dana desa tersebut akan berkontribusi positif terhadap efektifitas dan efisiensi implementasi dana desa.