Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
PPI Edinburgh Rayakan Lebaran Setelah 20 Jam Berpuasa
Puluhan warga Indonesia tampak bersukacita dalam acara Lebaran Keluarga Besar Indonesia di Edinburgh, Skotlandia, Rabu (6/7/2016) siang.
Penulis: Ika Nurlaili Isnainiyah
TRIBUNNERS - Puluhan warga Indonesia tampak bersukacita dalam acara Lebaran Keluarga Besar Indonesia di Edinburgh, Skotlandia, Rabu (6/7/2016) siang.
Sebagian besar merupakan mahasiswa tahun terakhir yang sedang berkuliah di beberapa universitas di kota ini.
Perayaan yang pada awalnya diagendakan outdoor ini akhirnya batal terwujud lantaran cuaca kota Edinburgh yang labil tak menentu.
Matahari nampak terik bersinar di pagi hari dan kemudian menjelang siang langit seketika berubah menjadi kelabu, disusul oleh rintik hujan yang mulai turun.
Acara pun akhirnya dapat dimulai beberapa saat selepas shalat dzuhur di ruang komunal kepunyaan salah satu student accommodation.
Berbagai sajian khas nusantara seperti lontong, rendang, opor ayam, sate kambing, sambal goreng kentang, klepon, kue putri salju, serta teh manis turut serta menemani antusiasme warga yang rindu akan suasana lebaran di Indonesia.
Sebagian besar memang tidak dapat mudik pulang ke kampung halaman dikarenakan mahalnya harga tiket pesawat selama summer serta masih adanya 'hidangan' tesis yang harus segera diselesaikan.
Tidak hanya dihadiri oleh umat muslim saja, acara ini juga turut diramaikan oleh sejumlah warga Indonesia non-muslim yang tinggal di Edinburgh.
Suasana kekeluargaan amat terasa sepanjang berlangsungnya acara. Bahkan, Vanessa, seorang gadis berdarah Padang-Jerman yang tengah mengenyam pendidikan master di University of Edinburgh juga turut hadir dalam acara ini.
Vanessa menikmati berbagai hidangan yang disajikan, terutama rendang yang sudah cukup lama tidak ia jumpai.
Bagi para mahasiswa yang telah tuntas menunaikan ibadah puasa 20 jam, tentunya perayaan ini menjadi sebuah momen yang amat menggairahkan.
Bagaimana tidak. Selama selama satu bulan sebelumnya, mereka hanya memiliki waktu sekitar 4 jam di tengah malam untuk berbuka serta sahur yang juga dibarengi dengan ibadah shalat tarawih.
Beberapa mahasiswa Indonesia mengaku sering mendapatkan dukungan moral dari teman-teman sekelas setelah mengetahui fakta bahwa mereka tetap mampu menjalankan ibadah puasa di tengah balada tesis yang membuat perpustakaan diwarnai wajah-wajah pemikir keras.
Salah satu dosen di University of Edinburgh bahkan mengaku pernah mencoba ikut berpuasa, namun beliau memaparkan hanya mampu menahan lapar dan dahaga selama 8 jam saja.
Berbagai ritual seperti membalik ritme tidur di pagi hari, miscall hingga mengetok pintu kamar kawan yang kebablasan tidur, serta perburuan iftar gratis di masjid dengan menu mediterranean yang hampir sama setiap harinya adalah rutinitas yang konon terus terulang sepanjang bulan Ramadan.
Jika bosan, para mahasiswa berinisiatif untuk bergiliran berbelanja dan memasak makanan Indonesia dengan harapan bisa menjadi lebih berselera saat makan sahur.
Nafsu makan terkadang bisa musnah begitu saja, namun apa daya mereka harus tetap mengusahakan sahur agar tetap memiliki tenaga yang cukup hingga berbuka.
Berbeda halnya dengan di Indonesia yang sudah dipenuhi dagangan takjil sejak siang hari. Sejumlah pilihan warung bahkan standby hingga dini hari menemani para warga yang tidak punya waktu untuk memasak menu makan sahur.
Segalanya ada dan mudah. Mungkin inilah kenikmatan yang amat dirindukan tentang berpuasa di tanah air. Kenikmatan yang tidak benar-benar disadari sebelum menempuh bulan puasa yang jauh berbeda di belahan dunia lainnya.
Akhirnya, setelah bergotong-royong dan sedikit begadang memasak pada H-1 lebaran dengan sejenak melupakan balada tesis yang menghadang, syukur alhamdulillah perayaan lebaran di kota Edinburgh ini dapat terselenggara dengan lancar.
Puncaknya, perjuangan dalam menempuh Ramadan di Skotlandia ini menjadi sebuah milestone tersendiri yang tidak akan pernah dilupakan oleh mereka yang sempat mengalaminya.