Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Rezim Kuota Impor Rawan Persekongkolan Kartel dan Korupsi
Pengendalian impor Komoditas pangan kembali memakan korban, yaitu dugaan keterlibatan ketua DPD RI, Irman Gusman.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Muhammad Syarkawi Raif, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
TRIBUNNERS - Pengendalian impor Komoditas pangan kembali memakan korban, yaitu dugaan keterlibatan ketua DPD RI, Irman Gusman, dalam mempengaruhi penentuan kuota impor gula pada 2016. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Irman sebagai tersangka yang sebelumnya tertangkap tangan dengan bukti uang suap Rp 100 juta.
Penangkapan Irman bersumber dari rezim kebijakan kuota impor komoditas pangan di Indonesia yang bermasalah dari sisi hukum pidana mau pun hukum persaingan usaha. Secara pidana, instrumen kebijakan kuota impor berpotensi menyebabkan persekongkolan dalam menentukan pemegang kuota impor.
Apa lagi hampir semua komoditas pangan terdapat disparitas harga sangat besar antara harga dalam negeri dengan harga luar negeri. Hal ini memberi insentif bagi calon pemegang kuota untuk menyuap pemangku kebijakan dalam jumlah sangat besar.
Sebagai contoh dalam kasus gula impor, selisih antara patokan harga pembelian oleh Pemerintah dengan harga luar negeri bisa lebih dari dua kali lipat. Harga pokok gula di dalam negeri mencapai sekitar Rp 9 ribu per kilogram, sementara harga swasta domestik sekitar Rp 4.500 dan harga Internasional lebih murah lagi.
Disparitas harga domestik (harga pokok pembelian yang ditetapkan Pemerintah) dan harga internasional yang sangat lebar ditambah buruknya governance, ditandai birokrasi yang tidak transparan dalam penentuan pemegang kuota impor memberi peluang terjadinya praktek korupsi dan bahkan persekongkolan untuk mengendalikan harga komoditas pangan di dalam negeri (kartel).
Rezim kuota impor komoditas pangan juga rawan menyebabkan praktek kartel, yaitu persekongkolan dalam mengatur pasokan komoditas pangan ke pasar (kartel pasokan) atau persekongkolan dalam menetapkan harga (price fixing). Kartel pangan menyebabkan harga pangan di Konsumen menjadi mahal dan memberikan keuntungan sangat eksesif kepada pelaku kartel.
Kebijakan kuota secara tidak langsung berpotensi memfasilitasi terjadinya kartel pangan karena pemberian kuota yang tidak transparan dan diduga melalui proses persekongkolan (korupsi) yang menyebabkan pemberian kuota impor hanya kepada pelaku Usaha tertentu yang terafiliasi satu sama lainnya. Di mana, kuota impor seolah-olah diberikan kepada puluhan perusahaan tetapi setelah diperiksa secara reliti dan detail, kuota tersebut hanya terpusat pada maksimum lima grup perusahaan.
Rezim kuota impor menciptakan struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli. Hal ini memudahkan terjadinya praktek kartel yang mengeksploitasi pasar dengan harga mahal untuk memperoleh keuntungan yang eksesif. Modus ini sangat mungkin terjadi jika pemberian kuota impor dilakukan secara bersekongkol dan tidak transparan.
Rezim kuota impor juga menyebabkan harga Komoditas pangan di dalam begeri menjadi sangat tinggi dan berfluktuasi. Hal ini dimulai dati rendahnya akurasi data Pemerintah Dalam menentukan total produksi atau pasokan dan juga konsumsi komoditas pangan di dalam negeri.
Lemahnya akurasi data oleh Pemerintah menyebabkan overestimate (berlebih) dalam menentukan besaran produksi, bahkan dalam beberapa Kasus underestimate (kekurangan hitung) dalam menentukan tingkat konsumsi per kapita per tahun.
Apa lagi terdapat keinginan yang sangat kuat bagi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dalam jangka pendek. Implikasi lanjutannya adalah adanya dorongan untuk menaikkan estimasi produksi pangan di dalam negeri menjadi overestimate (kelebihan hitung).
Overestimate dalam menghitung produksi pangan di dalam negeri berujung pada lemahnya akurasi data pasokan pangan nasional dari produksi di dalam negeri dan juga menyebabkan underestimate (kekurangan hitung) dalam menetapkan jumlah impor komoditas pangan.
Overestimate data produksi dan underestimate dalam penetapan kuota menyebabkan kekurangan pasokan di dalam negeri. Apa lagi pengalaman selama ini, realisasi impor untuk setiap komoditas pangan selalu lebih rendah dari besarnya kuota impor yang diberikan kepada pelaku Usaha. Implikasinya, harga pangan di dalam negeri menjadi mahal yang menguntungkan importirnya dengan margin yang Tinggi.