Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Antara UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, Menteri ESDM, dan Prabu Jayabaya
Beberapa waktu lalu, dalam rilisnya Ketua Umum Asosiasi Penguasaha Mineral Indonesia (Apemindo) – Poltak Sitanggang, yang namanya sempat masuk bursa
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Alex Palit
Beberapa waktu lalu, dalam rilisnya Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) – Poltak Sitanggang, yang namanya sempat masuk bursa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyebutkan bahwa pengelolaan SDA seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD Pasal 33 ayat (3) adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Jadi garis besar intinya siapa pun yang menjadi Menteri ESDM harus mengemban dedikasi amanah itu, yaitu melaksanakan amanah UUD 1945 Pasal 33 (1), bukan mengembang amanah kelompok pendukungnya atau menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi memberhentikan dua menterinya yaitu Menteri Perhubungan Ignatius Jonan dan Menteri ESDM Arcandra Tahar.
Sudah tentu pemberhentian kedua menterinya tersebut dengan segala alasan pertimbangan, bisa lantaran kinerjanya, bisa pula lantaran pertimbangan integritas personality, bisa pula lantaran alasan tarik ulur kepentingan politis antar kubu kekuatan politk.
Setelah diberhentikan dari jabatan menteri, kini kedua nama itu kembali diangkat dan dilantik menjadi Menteri dan Wakil Menteri ESDM. Tidaklah salah bila kemudian dibenak terbesit ragam pertanyaan dan jawabannya atas pengangatan kedua menteri yang pernah diberhentikan dari jabatannya.
Beberapa waktu lalu, saya menulis artikel menyinggung “Zaman Edan”-nya ramalan Prabu Jayabaya. Selain raja, ia juga dikenal dengan ramalannya.
Di antara ramalannya, Raja kerajaan Kediri menyebutkan akan adanya “Zaman Edan”. Entah kapan terjadinya “Zaman Edan”, sudah terjadi kemarin, hari ini, atau esok. Biarlah waktu berbicara.
Menurut ramalan Jayabaya, terjadinya “Zaman Edan” salah satunya ditandai ‘akeh janji ora ditetepi, akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe’, alias tiada satunya kata dengan perbuatan. Sekali lagi, biarlah waktu berbicara.
Artikel ini sebenarnya merupakan jawaban atas komentar kritis dalam sebuah diskusi dengan seorang teman wartawan atas pengangkatan Jonan dan Arcandra sebagai Menteri dan Wakil Menteri ESDM. Semoga sang teman puas dan kembali manggut-manggut atas jawaban ini.
Sebenarnya jawaban yang paling tepat adalah biarlah waktu itu sendiri menjawabnya. Ketika semua sudah menjadi kasat mata, pembaca pasti bisa menarik garis kesimpulan sendiri tanda-tanda “Zaman Edan” seperti diramalkan Prabu Jayabaya.
* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, Pemred Bambuunik.com
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.