Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pencegahan Dini dan Deradikalisasi: Teror Untuk Terorisme
Pola terorisme yang terjadi belakangan ini menunjukkan gambaran nyata betapa terorisme sudah tidak lagi memerlukan momen-momen khusus
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Komjen (Pol) Drs. Suhardi Alius, MH
Pola terorisme yang terjadi belakangan ini menunjukkan gambaran nyata betapa terorisme sudah tidak lagi memerlukan momen-momen khusus untuk setiap aksinya; terorisme bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menyasar siapa saja.
Empat aksi teror terbaru misalnya, mulai dari serangan bom di Thamrin, bom di gereja Medan, teror pos polisi di Tangerang dan bom gereja di Samarinda, merupakan bukti bahwa terorismetelah menjadi bahaya tersendiri yang membutuhkan penanganan khusus dan bersifat terus-menerus.
Dua hal utama yang kini terus digalakkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah deteksi dini dan deradikalisasi.
Perlu ditekankan di sini bahwa terorisme tidak sama dengan jenis kejahatan lainnya, terorisme adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang memiliki potensi merusak, bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga mental dan pola pikir seseorang.
Karenannya, penanganan yang diperlukan untuk kmenanggulangi bahaya kejahatan ini haruslah berupa sistem penanganan yang integratif, komprehensif, holistik dan menyeluruh.
Salah satu ciri utama dari terorisme saat ini dapat dilihat dari pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam tubuh dan aksi terorisme, di mana terorisme saat ini tidak lagi mengharuskan perencanaan yang matang, atau keterlibatan dalam kelompok-kelompok teroris tertentu.
Saat ini, siapa saja dapat bergerak sendiri untuk melakukan aksi teror, aksi sepert ini biasa dikenal dengan sebutan serigala tunggal atau lone wolf. Para ‘serigala’ ini tidak terlibat secara ‘resmi’ dengan kelompok-kelompok teror, tetapi mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa terorisme memang benar-benar membela agama. karenanya, mereka rela mengorbankan nyawa, sambil meyakini bahwa kematiannya itu akan dibalas dengan surga beserta seluruh janji kenikmatan di dalamnya.
Pencegahan dini terorisme, sebagaimana gencar dilakukan oleh BNPT, difokuskan pada fase pra-terorisme, yakni radikalisme. Radikalisme sendiri memang tidak selalu berujung pada terorisme, namun radikalisme adalah pintu terakhir sebelum masuk ke terorisme.
Artinya, seseorang yang radikal belum pasti akan menjadi teroris, tetapi orang-orang radikal tersebut memiliki potensi besar untuk terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Atau paling tidak, mereka akan bersetuju atau bahkan mendukung adanya aksi-aksi terorisme.
Pantauan dan hasil kerja dari BNPT menunjukkan bahwa radikalisme bukan saja disebabkan oleh kesalahan dalam memahami makna agama saja, karena ada banyak faktor lain yang turut memainkan peran dalam tumbuh kembangnya paham kekerasan yang mengatasnamakan agama ini. Beberapa faktor itu antara lain; ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.
Karenanya, pencegahan dini tidak hanya dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar tentang agama, melainkan juga dengan turut mendorong terpenuhinya faktor-faktor lain seperti di sebut di atas.
Dalam pengertian yang lain dapat disampaikan bahwa radikalisme bukan hanya disebabkan oleh kondisi kosong otak, melainkan juga kosong perut, kosong kantong, dan kosong hati.
Mengisi kekosongan-kekosongan itu tentu tidaklah mudah, karenanya BNPT menggandeng elemen masyarakat dan kementrian terkait untuk berperan aktif dalam membabat benih-benih radikalisme. Dengan cara ini, kinerja BNPT dapat berjalan secara lebih efektif dan komprehensif.