Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Plus Minus Hasil Debat Publik Perdana Antara AHY, Ahok dan Anies
Debat perdana tiga pasangan calon di Pilgub DKI Jakarta mencengangkan, masing-masing punya plus minusnya. Penasaran? Berikut ulasannya.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Said Salahudin, Pemerhati Kepemiluan
TRIBUNNERS - Salut! Kata ini rasanya tak berlebihan ditujukan kepada tiga pasangan calon Pilkada DKI Jakarta 2017 yang tampil dalam debat perdana Jumat (13/1/2017) malam.
Secara umum, ketiga pasangan calon khususnya para calon gubernur cukup mampu menunjukkan kualitasnya sebagai calon pemimpin yang cakap dalam menyampaikan visi, misi, dan program masing-masing kepada calon pemilih.
I. AHY Tegas, Ahok Rileks, Anies Berwibawa
Dari sejumlah hal menarik yang muncul dari acara debat semalam, penampilan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) boleh disebut sebagai salah satunya.
Selama ini, kemampuan AHY dalam berdebat cenderung diragukan sejumlah pihak. Ketidakhadirannya di beberapa acara debat nonformal televisi swasta beberapa waktu lalu menguatkan dugaan sebagian masyarakat bahwa Agus memang tidak siap mengikuti debat.
Tetapi setelah melihat penampilannya semalam, Agus sepertinya telah mampu menggugurkan pandangan sinis tersebut. Tampil dengan penuh percaya diri dan cara bicara yang tegas dan teratur, AHY cukup memukau. Stigma sebagai ‘anak ingusan’ tampaknya tidak tepat lagi dilekatkan kepadanya.
Tidak hanya Agus, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Rasyid Bawedan pun tampil cukup memukau.
Secara umum Ahok terlihat cukup tenang dan rileks ketika berbicara. Dia relatif mampu mengendalikan sikap temperamentalnya. Hanya sesekali saja suaranya meninggi.
Ahok juga tidak terlihat tertekan dalam posisinya sebagai calon petahana yang lazim menjadi pusat serangan.
Sementara penampilan Anies tidak berubah. Ia tetap muncul dengan tampilan berwibawa. Cara bicaranya cukup menyejukan, sistematis, argumentatif, tetapi juga tegas. Dia tampil cukup simpatik.
Sayangnya, penampilan menarik dari ketiga calon tersebut gagal disempurnakan oleh moderator debat, Ira Koesno. Walau terbilang cakap, Ira sedikit kurang lentur melaksanakan tugasnya. Sikapnya yang kelewat tegas membuat suasana debat sedikit tegang dan menjadi kurang cair.
II. Anies Dominan, AHY dan Ahok Proporsional
Salah satu yang menarik dari penyelenggaraan debat kemarin adalah strategi yang diterapkan oleh masing-masing calon dalam membagi sesi bicara dengan masing-masing pasangannya.
Pasangan nomor urut 3 Anies Rasyid Bawedan–Sandiaga Salahuddin Uno (Sandi) terlihat menggunakan strategi berbeda dengan dua pasangan lainnya.
Sebagai calon gubernur, Anies tampil sangat dominan di sepanjang acara debat. Dari enam segmen debat yang memberikan kesempatan berbicara sebanyak 17 kali kepada masing-masing pasangan, Anies tampil sebanyak 14 kali, sementara calon wakilnya Sandi hanya diberikan kesempatan tiga kali saja.
Pada segmen ketiga, kelima dan keenam, Anies bahkan memborong seluruh waktu berbicara. Sandi hanya kebagian berbicara pada segmen pertama, kedua, dan keempat.
Pasangan nomor urut 1 Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) - Sylviana Murni (Sylvi) dan pasangan nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)–Djarot Saiful Hidayat menerapkan strategi yang juga berbeda.
Pola pembagian waktu bicara yang dipraktikkan oleh kedua pasangan ini cenderung lebih proporsional dari pada pasangan nomor urut 3.
Jika Anies–Sandi tampil dengan pola 14 - 3, Agus–Sylvy bermain dengan pola 11–6, dan Ahok-Djarot berbagi dengan pola 10 - 7.
Perbedaan lainnya tampak pada strategi penguasaan segmen. Jika Anies tampil penuh di tiga segmen, yaitu segmen ketiga, kelima dan keenam, Agus berbicara penuh di tiga segmen berbeda, yaitu segmen pertama, kedua, dan keenam.
Lain Anies dan Agus, lain pula dengan Ahok. Calon nomor urut 2 ini justru membuat pola sendiri dengan cara berbagi waktu penguasaan segmen dengan pasangannya.
Ahok mengambil waktu sepenuhnya pada segmen kelima, sementara Djarot berbicara secara utuh pada segmen ketiga. Sandi dan Sylvi tidak melakukan seperti yang dilakukan Djarot.
Sekalipun dalam pelaksanaan debat semalam pasangan nomor urut 3 menerapkan strategi yang lebih menonjolkan sosok Anies, sedangkan nomor urut 1 dan 2 menerapkan pola tampil yang relatif proporsional dengan masing-masing pasangangannya, hal itu sama sekali tidak menunjukkan superioritas dari salah satu pasangan calon. Ini semata perbedaan strategi debat saja.
Namun, jika strategi tiap-tiap pasangan tersebut dikaitkan dengan gambaran pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang kelak akan dijabat oleh salah satu pasangan calon, maka strategi yang diterapkan oleh pasangan nomor urut 3 dengan lebih menonjolkan sosok calon gubernur daripada sosok calon wakil gubernurnya menemukan relevansinya.
Dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, walau calon gubernur dan calon wakil gubernur dipilih secara berpasangan, tidak berarti kewenangan seorang gubernur sama dengan kewenangan wakil gubernur. Ketika salah satu dari pasangan calon itu terpilih, maka kekuasaan pemerintah daerah DKI nantinya berada sepenuhnya di tangan gubernur.
Posisi wakil gubernur hanya bersifat membantu tugas-tugas tertentu gubernur, memberikan saran dan pertimbangan, serta menggantikan tugas dan wewenang gubernur ketika berhalangan.
III. AHY Bantuan Dana, Ahok Infrastruktur, Anies Pembangunan Manusia
Diakui atau tidak debat perdana tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Pilkad DKI Jakarta memang menarik.
Ketiga pasangan calon mampu menunjukan kekuatan visi, misi, dan programnya masing-masing, dan pada bagian yang lain juga terampil dalam mengkritisi visi, misi, dan program para kompetitornya.
[Program AHY – Sylvi]
Dari debat perdana yang mengambil tema seputar permasalahan sosial-ekonomi, termasuk persoalan lingkungan, transportasi, dan keamanan, semalam, pasangan nomor urut 1 Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni (Sylvi) tampak lebih mengedepankan program bantuan dana bagi warga Jakarta.
Mulai dari Bantuan Langsung Sementara (BLS) sebesar Rp 5 juta untuk tiap keluarga miskin, bantuan modal usaha bergulir sebesar Rp 50 juta untuk tiap unit usaha, sampai dengan bantuan Rp 1 miliar per tahun untuk pemberdayaan RT/RW di DKI Jakarta.
Program pelayanan kesehatan, penegakan hukum, peningkatan kualitas pemerintahan dan birokrasi, program rumah rakyat, penyerapan tenaga kerja, kerukunan warga, serta pembangunan karakter akhlak dan moral, serta hal lainnya memang juga disuarakan oleh Agus–Sylvi, tetapi program bantuan dana tampak ingin lebih ditonjolkan oleh pasangan ini.
Program bantuan tersebut sebetulnya bagus-bagus saja. Selain dapat memberdayakan masyarakat dan mengurangi angka pengangguran, program itu pada gilirannya juga diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Sampai disini, Agus–Sylvi boleh disebut telah menunjukan keberpihakannya kepada warga Jakarta, khususnya kepada mereka yang berlabel orang pinggiran.
Sayangnya, pasangan nomor urut 1 itu kurang mampu menjawab secara tangkas dan konkret mengenai metode untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan dana-dana yang akan dikelola oleh masyarakat tersebut, sebagaimana dikhawatirkan oleh pasangan nomor urut 2.
Pertanyaan dari pasangan petahana ini cukup masuk akal, mengingat program bantuan dana yang sejenis pernah juga diwujudkan di masa lalu, tetapi ternyata menyisakan sejumlah persoalan.
[Program Ahok–Djarot]
Adapun pasangan nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)– Djarot Saiful Hidayat sendiri pada acara debat tadi malam tampak lebih mengutamakan program infrastruktur, dibandingkan dengan program lain yang juga mereka sampaikan, antara lain soal transparansi birokrasi, pelayanan kesehatan, jaminan pendidikan, perumahan, transportasi, stabilisasi harga kebutuhan pokok, dan modal usaha dengan sistem bagi hasil.
Penekanan Ahok–Djarot pada pembangunan fisik tergambar dari uraian mereka mengenai program rumah susun layak huni untuk warga yang terkena proyek penggusuran. Bagi pasangan ini, pembangunan rumah susun sangat penting agar warga dapat tinggal di sana sampai dengan usia lansia dan hidup secara manusiawi.
Secara gagasan, program pasangan petahana ini sebetulnya baik, tetapi secara praktik, program yang sudah berjalan itu ternyata menimbulkan banyak masalah. Salah satu masalahnya bahkan disebut sendiri oleh Ahok. Dia menyebut soal belum rampungnya pembangunan rumah susun. Padahal, bagaimana mungkin dilakukan penggusuran ketika rumah susun yang diperuntukkan kepada warga ternyata belum siap dibangun.
Kritik dan pertanyaan yang dilontarkan oleh para kompetitornya terkait kebijakan penggusuran dan program infrastruktur untuk mengalihkan tempat tinggal warga ke rumah susun, termasuk dampak yang timbul dari kebijakan penggusuran, sayangnya juga tidak mampu dijawab secara argumentatif oleh pasangan nomor urut 2 ini.
Soal warga yang kehilangan mata pencahariannya akibat direlokasi ke rumah susun yang lokasinya jauh dari tempat tinggal semula, problem trauma para korban penggusuran, serta persoalan warga yang tercabut dari akar budayanya, sebagaimana tergambar dari film ‘Jakarta Unfair’ yang disinggung oleh pasangan nomor urut 1, misalnya, hanya dijawab secara normatif oleh pasangan petahana ini.
[Program Anies–Sandi]
Jika Agus–Sylvy mengandalkan program bantuan dana dan Ahok–Djarot mengedepankan program infrastruktur, maka pasangan nomor urut 3 Anies Rasyid Bawedan–Sandiaga Salahuddin Uno (Sandi) terlihat lebih mengutamakan program pembangunan manusia dan penegakan hukum.
Anies–Sandi memang bicara mengenai program tata kelola pemerintahan yang baik, perluasan lapangan kerja, pemberian kredit bagi UMKM, biaya hidup terjangkau, penolakan proyek reklamasi, pemajuan kesejahteraan, urban renewal, moratorium kendaraan mewah, dan penanganan masalah orang asing, tetapi aspek pembangunan kualitas manusia melalui pendidikan dan penegakan hukum tampak diutamakan.
Menurut pasangan ini, yang perlu dibangun dalam meningkatkan mutu pendidikan bukan cuma persekolahan, tetapi juga penanaman nilai-nilai agama melalui penguatan iman, takwa, akhlak, dan karakter moral warga Jakarta. Budaya mengaji pada anak-anak, misalnya, dianggap perlu untuk dihidupkan kembali. Program ini tentu sangat baik sebagai perwujudan dari pengamalam Sila Pertama Pancasila.
Adapun program penegakan hukum yang ditawarkan oleh Anies–Sandi sebetulnya masih terkait dengan program pembangunan kualitas manusia. Hal ini tercermin dari contoh-contoh kasus yang mereka anggap harus diproses secara hukum, seperti kasus prostitusi dan peredaran narkoba yang marak di tengah masyarakat, terutama di tempat-tempat hiburan malam.
Sayangnya, pasangan ini seperti kurang mengikuti informasi sehingga ketika memilih contoh kasus yang dianggap memerlukan proses penegakan hukum, sampel tersebut ternyata telah lebih dulu disoroti dan diproses secara hukum oleh pasangan calon yang lain, yaitu pasangan petahana.