Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kisah Veteran Perang Bertemu Suku Mante: Tumit di Depan, Larinya Kencang
Saat berpapasan dengan binatang yang ada, khususunya gajah dan harimau biasanya mereka berhenti. Menunggu sampai nek pergi. Istilah untuk binatang itu
Editor: Wahid Nurdin
Oleh Yuli Rahmad, ST
Alumnus Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Suku Mante Hidup di Hutan Terangon?
ALMARHUM kakek saya, Teungku Yusuf bin Getah, adalah seorang veteran perang. Semasa hidupnya, kakek mengaku terlibat aktif dalam perjuangan perang baik melawan Belanda maupun Jepang.
Usai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, kakek memilih menjadi warga biasa. Hidup dengan bercocok tanam sebagai petani dan berdagang.
Selama musim tanam, beliau ke ladang. Beliau berladang mulai dari Blangpidie hingga Lama Inong di Aceh Selatan (sekarang Aceh Barat Daya atau sering disingkat Abdya).
Saat itu, pertanian padi dilakukan sekali dalam setahun. Tapi hasilnya cukup bagus. Saya masih ingat, di belakang rumah kakek terdapat lumbung padi yang besar. Ukurannya sekitar 3 x 3 meter. Lumbung itu tak pernah kosong.
Di sela-sela bertani, kakek berdagang. Pekerjaan itu, katanya dilakukan sekitar dua kali dalam setahun. Tepatnya setelah penyemprotan padi dan usai pemanenan.
Rentang waktu dua aktivitas pertanian tersebut cukup panjang. Sekitar 3-4 bulan. Cukup waktu untuk berdagang ke daerah lain di Aceh.
Dari Blangpidie, beliau membawa garam dan ikan asin. Tujuannya Gayo Lues dan Takengon, Aceh Tengah. Garam dan ikan asin mudah dijual di dua daerah tersebut.
Alasannya karena tak punya potensi laut. Saat pulang, kakek membawa tembakau dan kopi. Kopi dan Tembakau Gayo jauh lebih baik dari yang ada di Aceh Selatan. Itu pula yang dijual kembali di kampung.
Perjalanan Blangpidie-Gayo-Takengon serta sebaliknya Takengon-Gayo-Blang Pidie ditempuh berminggu-minggu. Kata kakek saya, mereka melewati jalur Terangon, Gayo Lues. Kalau dari Blangpidie, jalur tembus ke Gayo tersebut ada di Ie Mirah, Babahrot. Sesungguhnya jalur tersebut tidak aman.
Hutan Aceh di sepanjang jalur tersebut, kata kakek hidup berbagai jenis hewan liar. Dalam perjalanannya, mereka sering bertemu dengan harimau, gajah, badak, dan ular yang melintasi jalan. Menariknya, tak sekalipun mereka diganggu.
Saat berpapasan dengan binatang yang ada, khususunya gajah dan harimau, biasanya mereka berhenti. Menunggu sampai nek pergi. Istilah untuk dua binatang itu.