Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perppu Ormas Lahir, Presiden Jokowi Koreksi Total Kekeliruan Pemerintah SBY Atasi Ormas Radikal
PERPPU No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas merupakan langkah progresif sekaligus protektif Presiden Jokowi untuk melindungi segenap warga negara.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat PERADI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 10 Juli 2017, merupakan langkah progresif sekaligus protektif Presiden Jokowi untuk melindungi segala warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan melakukan koreksi secara total terhadap kebijakan yang keliru dari Pemerintahan SBY, melalui UU No. 17 Tahun 2013, yang tidak mencerminkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sesuai ketentuan pasal 5 UU No. 12 Tahun 2012, terutama asas dapat dilkasanakan, kejelasan tujuan dan kesesuaian antara jenis, hirarki dan materi muatannya.
Selain dari pada itu, rumusan beberapa pasal dalam UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, tidak mencerminkan asas pengayoman, kenusantaraan, bhineka tunggal ika dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, khususnya terkait dengan aktivitas ormas radikal dan intoleran yang sering memanfaatkan kelemahan UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, yaitu memepersulit posisi negara ketika hendak menindak Ormas yang dalam aktivitas sosial keagamaannya sangat mengancam persoalan kebangsaan, bhineka tunggal ika, pengayoman, NKRI, Pancasila dll. serta tidak membuka hak masyarakat untuk menggugat ormas yang melanggar hukum.
Padahal prinsip kekuasaan eksekutif negara adalah kekuasaan yang mengeksekusi setiap kebjiakan yang sudah diputuskan untuk segera dilaksanakan demi kepentingan nasional dan ketertiban umum yang didasarkan kepada UU. Dengan demikian sulit diterima akal sehat publik, manakala sebuah kondisi sosial politik di tengah masyarakat yang bergejolak yang memerlukan eksekusi secara sertamerta, namun oleh UU dibuat terlalu prosedural bahkan menyulitkan posisi negara untuk bertindak secara tepat dan cepat ketika muncul persoalan yang sangat mengancam Ideologi Negara, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Pada UU No. 17 Tahun 2013, posisi kepentingan keamanan negara dan ketertiban umum disejajarkan bahkan dikorbankan demi kepentingan kelompok kecil yang mengancam eksistensi NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan Ideologi Negara, karena penindakannya tidak boleh dilakukan secara serta merta, tetapi hanya melalui proses perdata, itupun hanya bisa terjadi kalau ada perminaan dari Menkum HAM kepada Jaksa. Di sini kekuasaan eksekutif negara dibuat tidak berdaya ketika berhadapan dengan ormas yang melakukan kejahatan yang mengancam keselamatan bangsa, karena negara terikat pada mekanisme perdata di Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.
Ironisnya adalah, terdapat ketidaksinkronan antara fungsi eksekutif negara dengan kondisi keamanan negara dan keselamatan bangsa yang terancam oleh perilaku ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 945. Derajat kekuasaan eksekutif negara diturunkan, perjuangan untuk menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara diturunkan hingga sederajat dengan kepentingan ormas yang mengancam keamanan negara, karena penindakannya diarahkan melalui mekanisme perdata di Pengadilan Negeri.
Kebijakan perumusan UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, diduga merupakan sebuah "grand design" untuk kepentingan jangka panjang yang bermaksud melindungan ormas-ormas radikal, dengan cara membonsai kekuasaan eksekutif negara melalui UU No. 17 Tahun 2013. Belum lagi kalau Menteri Hukum dan HAM-nya kebetulan berafiliasi politik dengan ormas radikal. Kerananya Perppu No. 2 Tahun 2017, merupakan sebuah koreksi total dari Presiden Jokowi terhadap "grand design" politik Pemerintahan SBY yang keliru yaitu membonsai kekuasaan eksekutif negara ketika hendak melakukan penindakan terhadap sebuah kejahatan yang mengancam keselamatan negara.
Kesalahan lainnya di dalam materi muatan UU No. 17 Tahun 2013 adalah menempatkan posisi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang wajib dimintakan pertimbangan hukum ketika sebuah ormas hendak diberikan sanksi, karena melakukan pelanggaran terhadap larangan-larangan oleh UU No. 17 Tahun 2013 (pasal 65, 67 UU No. 17 Tahun 2013), sementara untuk pemberian sanksi terhadap ormas yang melakukan pelanggaran, proses penyelesaian hukumnya melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri hingga di Mahkamah Agung melalui sebuah putusan perdata.
Dengan demikian maka independensi Mahkamah Agung dan kebebasan Hakim, sudah tergadaikan, karena sebelum penindakan dilakukan, Mahkamah Agung sudah memberikan pendapat hukum ketika ormas hendak dijatuhkan sanksi Adminstratif. Belum lagi kalau proses pengajuan pembubaran ormas berbadan hukum hanya bisa diajukan oleh Kejaksaan, itupun bisa dilakukan hanya atas permintaan tertulis dari Menteri Hukum dan HAM (pasal 70 UU No. 17 Tahun 2013). Di sini Menteri Hukum dan HAM diberikan hak secara eksklusif untuk menuntut pembubaran ormas, sementara masyarakat tidak diberikan hak untuk mengajukan gugatan pembubaran ormas (ini melanggar HAM).
Karena itu Perppu No. 2 Tahun 2017 dari Presiden Jokowi, merupakan proteksi terhadap HAM seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia dan sama sekali tidak melanggar dan membatasi HAM seseorang, karena seluruh warga negara HAM-nya sudah diatur dalam UUD'45 dan UU Tentang HAM yang sekaligus membatasi dan memberikan kebebasan yang terukur. Presiden Jokowi seharusnya mencabut secara total UU No. 17 Tahun 2013, karena muatan materi dan rohnya terindikasi beraliran radikal dan melanggar HAM apalagi lahir dari sebuah "grand design" politik pemerintahan SBY dengan kecenderungan memihak kepada kepentingan ormas radikal dan intoleran.