Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Idul Adha Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan

Hakikat Idul Adha adalah kembali kepada pemahaman nilai qurban yang berpangkal dan konsep keimanan dan kemanusiaan

Editor: Fajar Anjungroso
zoom-in Idul Adha Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ribuan jemaah melaksanakan salat Idul Adha di ruas Jalan Jatinegara, Jakarta, Senin (12/9/2016). Ruas Jalan Jatinegara ditutup sementara dan digunakan warga untuk melakukan salat Idul Adha 1437 Hijriah. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Oleh KH Maman Imanulhaq

Hakikat Idul Adha adalah kembali kepada pemahaman nilai qurban yang berpangkal dan konsep keimanan dan kemanusiaan, dua pilar terpenting peradaban manusia.

Kata “qurban” mengandung tiga makna yang sarat dengan pelajaran moral (i‘tibar) yang bisa membekali manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai Ilahiah serta kemanusiaan, terutama bagi bangsa Indonesia yang saat ini diuji oleh sindikat penyebar kebencian berbasis SARA seperti yang dilakukan SARACEN.

Makna Pertama

Pertama, qurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan antara hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi jika sang hamba berjiwa kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat.

Untuk itu, ketika takbir Idul Adhadatang menyapa relung batin manusia, maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup nafsu, ambisi, dan kepentingan pribadi harus tergugah.

Allah Maha Dekat yang kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan keseriusan berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang selama ini telah ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan kepongahan.

BERITA REKOMENDASI

Zikir kepada Allah (dzikrullâh) adalah upaya untuk menyucikan hati, menenteramkan hati, dan mengkhusukkan kalbu sehingga seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi terhadap kesalahan dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang lain.

Kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa diminimalisir, bahkan ditepis dengan zikir. Dengan zikir, hati yang selama ini gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga prasangka, dendam, dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih.

Ketika Kita diterpa musibah dan bencana silih berganti, hati yang gelap pun bertanya, “Di manakah pertolongan Allah?” Pertanyaan ini muncul dari keraguan dan prasangka terhadap Allah. Selama ini, orang yang mengharap pertolongan Allah justru sering berbuat aniaya terhadap dirinya dan orang lain (zalim).

Manusia yang hatinya gelap juga gemar menghujat ajaran kelompok lain yang dirasa berbeda, tetapi perilaku serta ajaran yang dihujat justru tumbuh subur dalam aliran darah yang menghujat.

Orang seperti itu sering mengutuk, mencaci, dan menghina orang lain, tetapi diam-diam (sadar atau tidak) ia ternyata menggantikan kemungkaran dan kebiadaban orang yang dikutuknya.


Jiwa yang kosong dari dzikrullâh acapkali senang dalam suasana perpecahan, bukan kebersamaan. Ia tenggelam dalam belenggu perang saudara, bukan penyembuhan luka bangsa.

Perpecahan dan perang saudara tentu saja mengakibatkan kesengsaraan batin, selain juga merupakan tabungan dosa yang menjadi tirai penutup kedekatan seseorang kepada Allah.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas