Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Konflik Kepentingan Makin Kuat, Pelemahan KPK di Depan Mata
Rapat Paripurna DPR, 26 September 2017 kemarin, ternyata tidak memberikan ketuntasan mengenai hasil kerja Pansus Hak Angket
Editor: Malvyandie Haryadi
PENGIRIM: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
TRIBUNNERS - Rapat Paripurna DPR, 26 September 2017 kemarin, ternyata tidak memberikan ketuntasan mengenai hasil kerja Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK.
Ketua Pansus Agun Gunandjar, dalam laporannya, menyebutkan daftar temuan yang diperoleh selama Pansus bekerja dalam 60 hari terakhir, antara lain terkait aspek kelembagaan, kewenangan, tata kelola sumber daya, serta anggaran.
Baca: KPK Peringatkan Kepala Daerah Jangan Main-main Soal Korupsi
Laporan itu menganggap, antara lain: KPK gagal dalam menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi; KPK acap kali mengabaikan nota kesepahaman antara Polri dan Kejaksaan sehingga langkah yang diambil KPK tidak sesuai dengan kesepakatan bersama; posisi Wadah Pegawai KPK dapat mengintervensi Pimpinan KPK.
Terhadap laporan sementara yang dikeluarkan Pansus tersebut, PSHK berpendapat sebagai berikut.
Pertama, pembentukan Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK sejak awal telah bermasalah. PSHK berpandangan, KPK sebagai lembaga independen yang terlepas dari tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) bukan merupakan objek pelaksanaan hak angket DPR.
Perlu dipahami bahwa hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat merupakan tiga hak DPR yang dilaksanakan khusus dalam rangka fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
Merunut sejarah, ketiga hak itu pada awalnya didesain untuk menjatuhkan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan parlementer.
Karena kekhususan itu, pelaksanaan hak angket memiliki alokasi anggaran tersendiri sementara keanggotaan Pansus Hak Angket dicatatkan dalam Berita Negara.
Perlu dicatat bahwa dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah menyediakan mekanisme-mekanisme pengawasan biasa yang dapat dilakukan oleh DPR, yaitu Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rapat Kerja (Raker), serta Rapat Konsultasi.
Dengan demikian, apabila proses pembentukannya saja sudah bermasalah, maka perpanjangan masa kerja Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK tentu tidak dapat dibenarkan.
Kedua, pendapat Pansus bahwa posisi Wadah Pegawai KPK dapat mengintervensi atau melangkahi Pimpinan KPK tidaklah beralasan.
Keberadaan Wadah Pegawai KPK memiliki dasar legitimasi kuat sebagaimana tercantum dalam PP No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen dan Sumber Daya Manusia KPK.
Pasal 16 PP tersebut juga mengamanatkan Wadah Pegawai KPK untuk memiliki Dewan Pertimbangan Pegawai yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Pimpinan KPK mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kepegawaian.