Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Refleksi Akhir Tahun 2017 dari TPDI: Politik SARA hingga Pemberantasan Korupsi
Politik uang dan Sara dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, dua jenis kejahatan pemilu (Pilkada dan Pilpres), yang akan menjadi dua isu
Editor: Malvyandie Haryadi
Ancaman pidana yang terlalu ringan terhadap pelaku kejahatan Poltik Uang dan Sara di dalam UU Pilkada dan UU Pilpres, merupakan sebuah "grand design" kekuatan politik tertentu di DPR yang berusaha membangun kekuatan Politik Identitas, melalui Pilkada dan Pilpres untuk tujuan jangka panjang, sementara Pemerintah berada posisi kecolongan ketika mengesahkan UU Pilkada dan Pilpres.
Isu Sara bisa menimbulkan efek jangka panjang, karena antar pemilih dibenturkan pada persoalan primordial atas dasar ideologi, budaya, asal usul dll.
Sehingga warga masyarakat akan terbelah secara sosial budaya karena pertentangan dalam perbedaan politik identitas yang dipertajam.
Isu Politik Uang dan isu Sara dalam Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu, diprediksi memiliki efek domino di berbagai daerah lain dalam Pilkada dan Pilpres mendatang secara dramatis.
Sejumlah Pilkada/Pilgub 2018 yang diprediksi akan membanjirnya Isu Politik Uang dan Sara adalah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Papua, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Papua, NTT dll. Dari sisi Politicl Will, kita masih lemah, ketika membuat dan menegakan hukumnya, ketika menghadapi pelbagai pelanggaran dalam Pilkada, Pemilu dan Pilpres, karena sistim politik hukum nasional yang dikelola oleh DPR RI belum menyatu dalam satu visi bersama yaitu mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
II. PEMBERANTASAN KORUPSI.
Kelahiran KPK ibarat bayi yang lahir tetapi tidak dikehendaki keberadaannya oleh orang tua yang melahirkannya, karena itu sejak awal kelahirannya hingga sekarangpun upaya untuk membonsai dan membubarkan KPK masih sering dilakukan dan pelakunya adalah Penyelenggara Negara itu sendiri berikut Lembaga Negara yang dipimpinnya (Pansus Hak Angket KPK).
Namun demikian berkat dukungan yang kuat dari masyarakat, KPK tetap eksis, meskipun harus kehilangan beberapa pasal dari UU-nya akibat Uji Materiil di MK.
Sejauh ini KPK telah berhasil membuktikan kemampuannya dengan membawa sejumlah tersangka korupsi besar "big fish" termasuk terakhir kasus "Mega Korupsi e-KTP", dengan menangkap, menahan dan menjadikan Setya Novanto, Ketua Umum DPP GOLKAR dan Ketua DPR RI sebagai Terdakwa di Pengadilan Tipikor.
Namun demikian akrobatik politik berupa perlawanan oleh kekuatan Kelompok Anti Pemberantasan Korupsi, masih akan terus berupaya memperlemah KPK dengan berbagai cara termasuk masih akan terus berupaya meloloskan Setya Novanto dkk, dari Proses Peradilan di Pengadilan Tipikor hingga Kasasi di Mahkamah Agung melalui putusan bebas.
Upaya pelemahan terhadap KPK sebagai musuh utama para koruptor masih akan terus terjadi melalui usul perubahan UU Tipikor dan UU KPK di DPR, melalui Uji Materil beberapa pasal UU di MK, juga berupa penghindaran tuntutan pidana melalui upaya hukum Praperadilan dan Proses Hukum di Persidangan Pengadilan Tipikor hingga Mahkama Agung.
Namun demikian KPK tetap tidak berubah nyalinya dan terus saja berprestasi, sebagaimana telah mengumumkan jumlah OTT KPK selama tahun 2017 sebagai yang tertinggi selama usia KPK, yaitu sebanyak 19 kali OTT dengan jumlah tangkapan sebanyak 72 orang menjadi tersangka.
Mereka yang di OTT berasal dari unsur Penegak Hukum, Legislatif dan Pejabat Eksekutif. Namun demikian di tempat yang lain di sejumlah daerah terutama di Indonesia Timur, perilaku korupsi di kalangan pejabat daerah dengan penindakannya berbanding terbalik.
Publik Indonesia Timur berharap KPK melakukan operai khusus karena Polisi dan Jaksa di IndonesianTimur, sangat lemah bahkan menjadi bagian dari perilaku korupsi itu sendiri.