Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menyoal Menteri Rangkap Jabatan di Pemerintahan Jokowi-JK
Secara khusus, Airlangga mendapat sorotan paling banyak di pelbagai media publik baik elektronik, cetak dan online dibandingkan dengan Khofifah.
Editor: Choirul Arifin
Oleh: Syamsuddin Radjab, Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin, Makassar; Direktur Eksekutif Jenggala Center
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tahun politik ini, di Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK ada dua menteri yang sedang disoal terkait dengan pengunduran diri sebagai menteri dalam kabinet yang tinggal 1,5 tahun kedepan. Mereka adalah Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansah yang akan maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (AH) yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Kedua menteri tersebut konteksnya berbeda dalam mempersoalkan “keharusan” mengundurkan diri dari jabatannya saat ini dan dasar hukum yang mengaturnya sehingga dalam melihatnya harus secara proporsional, adil dan tepat.
Khofifah terikat dengan UU No. 1 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (baca: Pilkada) yang kemudian direvisi menjadi UU No. 8 tahun 2015 dan UU No. 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) serta UU No. 39 tahun 2008 Tentang Kementerian Negara (KN). Sedangkan dalam kasus Airlangga Hartarto peraturan perundangan-undangan yang terkait yaitu UU KN dan UU No. 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik (Parpol) dan AD/ART Partai Golkar.
Baik Khofifah maupun Airlangga, hingga sekarang belum mengundurkan diri sehingga memunculkan silang pendapat ditengah masyarakat baik dikalangan akademisi, pengamat, dan para politisi.
Secara khusus, Airlangga mendapat sorotan paling banyak di pelbagai media publik baik elektronik, cetak dan online dibandingkan dengan Khofifah.
Permintaan pengunduran diri seorang menteri jika menjabat pimpinan partai politik atau jabatan lainnya dipicu akibat janji politik Presiden Jokowi dalam kampanye calon Presiden 2014 lalu.
Janji itu terbukti dia terapkan saat penyusunan kabinet kerja dengan mundurnya belasan menteri berlatar belakang partai politik.
Presiden Jokowi dalam pelbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa menteri yang akan ditunjuk tidak boleh rangkap jabatan agar dapat fokus dalam posisi yang diembannya dalam mengurus rakyat.
Banyak pengamat memberi apresiasi atas kebijakan tersebut yang beda dengan pemerintahan sebelumnya dan dinilai sebagai bagian dari revolusi mental.
Baca: Hasto: Hari Ini PDI Perjuangan Umumkan Seluruh Bakal Calon Provinsi yang Ikut Pilkada
Baca: Punya Silsilah Keluarga yang Jadi Politisi, Ahmad Dhani Mengaku Tersesat Terjun di Dunia Musik
Di sela blusukan ke proyek sodetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur, Jakarta (26/8/2014), ia kembali menegaskan sikapnya bahwa pengisian jabatan menteri dalam kabinetnya tidak boleh rangkap jabatan dalam struktural di partai politik.
Hal yang sama disampaikan bahwa kabinetnya akan lebih ramping dan lebih fungsional.