Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menyoal Menteri Rangkap Jabatan di Pemerintahan Jokowi-JK
Secara khusus, Airlangga mendapat sorotan paling banyak di pelbagai media publik baik elektronik, cetak dan online dibandingkan dengan Khofifah.
Editor: Choirul Arifin
Sayangnya, konsep ini gagal karena jumlah menteri yang diangkat sama saja dengan pemerintahan sebelumnya.
Aturan Rangkap Jabatan
Dalam UU KN, pengangkatan menteri sebagai pembantu Presiden merupakan hak prerogatif Presiden sesuai Pasal 17 UUDN RI 1945 Jo. Pasal 1 ayat (2) Jo.
Pasal 22 ayat (1) UU KN. Sementara terkait dengan pemberhentian sebagai menteri, dalam Pasal 24 UU KN dinyatakan bahwa menteri berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia atau berakhir masa jabatannya.
Menteri bisa diberhentikan karena: Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut; Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; atau alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
Dalam ketentuan Pasal 23 UU KN, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/atau APBD.
Dalam kasus Khofifah, UU Pilkada dalam syarat pencalonan yang diatur dalam Pasal 7 tidak melarang dan mengharuskan seorang menteri mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri. Kecuali terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur karena terkait dengan UU Pemda yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) huruf h sebagai pejabat negara lainnya.
Artinya, jika Presiden Jokowi memberikan kesempatan kepada Khofifah sampai tahap penghitungan hasil pilkada pada Juli 2018 dengan tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai menteri dan terpilih maka otomatis harus mengundurkan diri.
Tetapi jika tidak terpilih maka ia dapat kembali memangku jabatannya sebagai menteri.
Sedangkan dalam kasus Airlangga, dengan keterpilihannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar sama sekali tidak ada aturan yang dilanggar atau mengharuskan yang bersangkutan mundur dari jabatannya sebagai menteri baik terkait dengan UU KN, UU Parpol maupun aturan internal AD/ART partai.
Dalam Pasal 40 UU Parpol yang mengatur ketentuan larangan parpol tidak mengatur hal ihwal rangkap jabatan dengan lembaga negara atau lembaga lainnya, bahkan ketentuan Pasal 21 ART Partai Golkar mengarahkan kadernya untuk menduduki jabatan strategis lembaga negara dan sesuatu yang wajar. Hal sama dengan Parpol lainnya.
Pertimbangan etika
Banyak pihak menilai bahwa pengunduran diri Khofifah dan Airlangga terkait dengan etika dan janji Presiden Jokowi di masa kampanye 2014 lalu serta perlakuan adil terhadap pimpinan partai politik lainnya yang harus mundur jika menjabat menteri.
Muhaimin Iskandar dan Wiranto menjadi contoh telanjang melihat penerapan janji Presiden Jokowi dalam rangkap jabatan menteri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.