Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kalau Pilkada Tangerang Ibarat Sepakbola, Calon Tunggal Bikin Hambar
Seluruh partai politik kompak mengusung satu pasangan di Pilkada Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.
Editor: Willem Jonata
Oleh: Andika Panduwinata
Berbagai hajatan besar dihelat di tahun 2018. Mulai dari Pilkada Serentak, Asia Games, dan Piala Dunia. Bisa dibilang 2018 ini tahunnya politik dan sepakbola.
Hegemoni pilkada bisa dianologikan dengan sepakbola. Terlebih dari unsur kompetisi, rival, fans, animo masyarakat, kemenangan, kekalahan, pengadil, dan juga fairplay.
Ada pula dalam segi taktik, susunan formasi, attacking, defending, counter attack, dan filosofi atau karakter permainan dari tim itu sendiri.
Pilkada serentak tahun ini digelar di sejumlah wilayah Tanah Air. Termasuk di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Masing-masing daerah ini dalam perayaan pesta demokrasi lima tahunan sama-sama hanya diikuti calon tunggal.
Pasangan Arief R Wismansyah-Sachrudin kembali maju pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang periode 2018- 2023.
Begitu juga calon incumbent lainnya yakni Ahmed Zaki Iskandar-Mad Romli yang berhasrat ingin memimpin Kabupaten Tangerang dalam lima tahun ke depan.
Peluit pun sudah ditiup oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tanda kick of berlangsung. Kedua pasangan calon petahana itu telah mendaftar dalam pagelaran Pilkada Tangerang.
Seluruh partai politik mengusung mereka. Tak pelak, kedua pasangan tersebut tak ada lawan dalam hajatan besar ini.
Memang sungguh hambar rasanya. Bila dibayangkan ini kompetisi sepakbola, penonton pun kecewa. Animo masyarakat yang sudah menanti-nanti pesta demokrasi ini mati rasa.
Jika pasangan ini diibaratkan dengan tim sepakbola, maka mereka menang WO. Arief-Sachrudin dan Zaki-Romli sudah memasuki gelanggang Stadion.
Dan diiringi oleh sang pengadil yakni KPU. Seluruh penonton di tribun Stadion penuh sesak. Mereka menanti - nanti jalannya pertandingan akan segera dimulai.
Namun nyatanya, tim tersebut tak ada rival untuk bermain. Lantas apa yang didapat oleh para penonton yang hadir?
Mereka sudah membeli tiket mahal-mahal untuk menyaksikan pertandingan. Pembelian tiket ini bisa disinonimkan dengan pembayaran pajak masyarakat, yang anggarannya untuk penyelenggaraan Pilkada.
Berbeda jauh dengan kompetisi ketat dalam turnamen - turnamen sepakbola lainnya. Sang pemenang harus menempuh jalan terjal untuk membawa piala sebagai title juara.
Penonton puas, dan tak memikirkan harga tiket yang selangit jika jalannya pertandingan memang berlangsung seru serta fairplay.
Dapat ditengok dalam perhelatan Piala Dunia 2014 kemarin. Der Panzer ke luar menjadi kampiun setelah susah payah menekuk Tim Tango di tanah Rio de Janeiro.
Gol semata wayang Mario Gotze mengantarkan timnya merengkuh gelar juara dan menjadi sorotan seantero penduduk muka bumi ini.
Khlayak penonton pun terhibur. Terlebih banyak kejutan dalam perhelatan kompetisi tersebut. Sulit dibayangkan Jerman mencukur habis Tim Samba dengan skor 1-7 di babak semifinal.
Padahal Neymar dan kawan - kawan diunggulkan menjadi juara, lantaran Brazil selaku tuan rumah.
Dalam kompetisi yang ketat, dapat melahirkan juara yang tangguh. Seperti tim besutan Joachim Low yang membusungkan dada dengan rasa bangga menjadi juara.
Berbagai strategi, taktik, utak-atik formasi dimainkannya dengan apik. Sehingga mengantarkan Jerman sebagai kampiun Piala Dunia kemarin.
Jika kembali lagi dalam Pilkada yang hanya calon tunggal, lalu bagaimana keseruannya? Apa rasanya jika menjadi pemenang tanpa lawan? Tingkat adrenalin fans tanpa rival pendukung?
Dan KPU meniup peluit panjang pertanda Pilkada Tangerang telah usai sebab tidak ada pertandingan. Serta calon tunggal dinyatakan menang tanpa jerih payah dan berkeringatan di lapangan.
(Penulis adalah inisiator Coffee Morning Tangerang dan pemerhati budaya Unpad)