Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Petaka Mahar Politik
Dalam sistem ketatanegaraan kita, partai politik memiliki kedudukan dan peran sangat penting dan strategis sebagai institusi satu-satunya yang berhak
Bahkan, gegara mahar politik, Partai Hanura secara mengejutkan tiba-tiba terguncang prahara dengan mendongkel ketua umumnya Oesman Sapta Odang (OSO) karena diduga menilep uang mahar politik sebesar Rp 200 Miliar (18/1/2018) masuk ke kantong pribadi sang ketua umum.
Tak perlu waktu lama, OSO pun tersungkur melalui mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh 27 DPD I dan 401 DPC II pengurus Partai Hanura di pelbagai daerah.
Pendukung Sudding (lawan kubu OSO) segera menggelar Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) Partai Hanura yang dilaksanakan di Hotel Sultan (18/1/2018), Jakarta Selatan, dengan agenda tunggal pemilihan ketua umum setelah OSO dipecat pada rapat pengurus DPP Partai Hanura di hari sebelumnya. Wiranto, menteri polhukam, sebagai Dewan Pembina Partai Hanura dibuat puyeng akibat konflik internal partai yang didirikannya.
Di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, Budi Heriyanto Dalimunthe juga gagal maju sebagai bakal calon Wakil Walikota karena diminta setor mahar politik sebanyak Rp 3 Miliar oleh pengurus Partai Golkar.
Demikian pula di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Jhon Krisli dan Maryono pasangan bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palangka Raya dari PDI-P batal mencalonkan diri karena dimintai ratusan juta perkursi DPRD.
Korban mahar politik diatas, hanya segelintir dari jejak digital yang terurai dipelbagai media, tetapi cukup mewakili suara mayoritas diam (silent majority) selain pengakuan yang gagal maju dan bernyanyi.
Praktik mahar politik yang dilakukan parpol dan calon berisiko secara hukum berupa pencoretan dalam pencalonan karena melakukan tindak pidana pilkada yang melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf i, Pasal 45 ayat (2) huruf b angka 4, dan Pasal 187C terkait perbuatan tercela dan penerimaan imbalan yang tegas dilarang oleh UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan sanksi yang berat baik pemberi maupun penerima (parpol).
Praktik mahar politik sama jahatnya dengan penggunaan pengaruh karena kedudukannya sebagai pejabat negara atau aparat penegak hukum yang mengancam akan mempersoalkan secara hukum atau mengkonversi politik tanpa mahar dengan pelbagai jabatan kadis di pemda.
Inilah muka bopeng demokrasi elektoral yang tanpa inheren dengan nilai etika dan moral politik melahirkan pelbagai petaka politik nasional maupun daerah.
Penataan Sistem
David Easton (1950) mengemukan bahwa kehidupan politik sebagai sebuah sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan dan memengaruhi cara pembuatan kebijakan (policy decision), dan pelaksanaan keputusan-keputusan otoritatif di suatu negara.
Hubungan dan saling memengaruhi antar lembaga kemudian disebut sebagai sistem politik yang dipengaruhi lingkungan eksternal.
Melihat peristiwa politik diatas, beberapa soal yang perlu penataan ulang sistem untuk mengatasi permasalahan kehidupan politik.
Pertama, kejahatan politik berupa setoran mahar politik yang sering dihaluskan sebagai uang saksi disebabkan karena ketiadaan pendanaan yang cukup terhadap partai politik.