Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Saatnya “Kawinkan” Regulasi Zakat dan Pajak
Bahkan, jika ditelisik secara detail terkait landasan perintah untuk menunaikan zakat, hampir selalu disandingkan dengan perintah shalat
Editor: Husein Sanusi
Oleh: Slamet
TRIBUNNEWS.COM - Bagi seorang muslim, menunaikan zakat merupakan sebuah kewajiban yang secara syar’i telah diatur melalui nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Bahkan, jika ditelisik secara detail terkait landasan perintah untuk menunaikan zakat, hampir selalu disandingkan dengan perintah untuk mendirikan shalat.
Itu artinya, bahwa kadar kewajiban zakat bagi seorang muslim, sama dengan kewajiban mendirikan shalat.
Hanya saja, jika shalat lebih kepada persoalan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, maka zakat lebih kepada dimensi horinsotal sebagai bentuk hubungan manusia dengan sesamanya.
Selain kewajiban menunaikan zakat tersebut, Pemerintah Indonesia juga mewajibkan kepada seluruh warga negara untuk membayar pajak.
Tak terkecuali masyarakat yang beragama Islam yang sudah memiliki kewajiban zakat. Dengan kata lain, umat Islam di Indonesia memiliki dua kewajiban yang harus ditunaikan, yakni zakat yang merupakan kewajiban agama dan pajak yang merupakan kewajiban negara.
Namun sayangnya, kedua kewajiban tersebut, masih berdiri sendiri-sendiri dan belum sepenuhnya memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Regulasi tentang zakat, diatur melalui UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan dibantu oleh beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Sedangkan aturan tentang Pajak diatur melalui UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Adapun pelaksana dari UU tersebut adalah Kementerian Keuangan RI melalui Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan adanya landasan hukum yang belum menguatkan satu sama lain dan pelaksana UU yang berbeda-beda inilah, maka zakat dan pajak tetap menjadi entitas yang berbeda di Indonesia sampai saat ini.
Alhasil, sampai saat ini, jika seorang Warga Negara Indonesia telah membayar zakat tidak serta merta menghilangkan kewajibannya membayar pajak.
Dengan demikian, ada ‘beban ganda’ yang harus dipikul oleh Warga Negara Indonesia yang beragama Islam.
Di sinilah harus ada solusi konkret untuk menyelaraskan antara zakat dan pajak dalam sebuah aturan yang mampu memperkuat satu sama lain, sehingga target perolehan yang ditetapkan tidak terlalu jauh dari potensi yang telah diperhitungkan.
“Kawinkan” Dua Regulasi; Mengapa Tidak?
Mungkinkah “mengawinkan” dua regulasi zakat dan pajak? Jawabannya tentu sangat mungkin. Contoh konkret atas pelaksanaan ini adalah Malaysia yang mengeluarkan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak.
Artinya, jika seseorang telah menunaikan zakatnya, maka kewajiban membayar pajak menjadi berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
Berbeda dengan Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 Pasal 22 dan 23, posisi zakat masih menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Dengan kedudukan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, otomatis jika seseorang ingin menunaikan zakat terlebih dahulu sebelum membayar pajak, maka hitungan nominalnya justru akan menjadi lebih besar.
Memang, secara umum jumlah penghasilan kena pajaknya menjadi berkurang karena telah terpotong oleh zakat. Namun, prosentase pajaknya tidak berkurang sama sekali.
Dalam kalkulasi ekonomi, tentu saja regulasi yang semacam ini akan merugikan. Dalam hal ini, maka tidak bisa dipungkiri jika perolehan zakat di Indonesia masih jauh dari potensi yang ada.
Bahkan, dalam catatan BAZNAS, pada tahun 2016 dari jumlah potensi zakat sebesar Rp. 217 Triliyun, perolehannya hanya Rp. 5,12 Triliyun dan tahun 2017 menjadi Rp. 7 Triliyun.
Tentu saja angka tersebut adalah prosentase yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi zakat yang mencapai ratusan triliyun rupiah.
Oleh karena itu, sebelum Pemerintah berencana untuk menggodog Perpres Zakat 2,5 persen untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), akan lebih baik lagi jika pemerintah mendorong sinkronisasi regulasi antara zakat dan pajak.
Artinya, perlu adanya perubahan mendasar tentang UU Nomor 23 Tahun 2011, yakni pada klausul “zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak” menjadi “zakat sebagai pengurang pajak.”
Tentu saja, bagi umat Islam akan lebih terakomodir mengingat tidak adanya double payment antara zakat dan pajak.
Di samping itu, jika regulasi zakat dan pajak disatukan, maka semangat umat Islam untuk menunaikan zakat akan lebih besar dan tidak menutup kemungkinan akan sesuai dengan potensinya.
Hal ini karena ketika mereka menunaikan zakat sekaligus telah membayar pajak.
Lalu bagaimana dengan pendapatan negara yang ditopang pajak? Pemerintah perlu merumuskan secara lebih teknis terkait maksimum nominal yang bisa disampaikan melalui BAZNAS/Lembaga Amil Zakat dan melalui Pemerintah.
Rumusan ini tentu bisa menjadi titik temu baik lembaga pengelola zakat maupun pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak.
Satu hal yang perlu diketahui oleh Pemerintah, bahwa Lembaga Amil Zakat memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan bangsa.
Sehingga tak ada salahnya, jika sekarang saatnya pemerintah memberikan keberpihakannya kepada Lembaga Amil Zakat melalui revisi kedudukan zakat menjadi pengurang pajak. Jika keduanya bisa “dikawinkan”, mengapa tidak?
Penulis adalah Direktur Penyaluran Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (NU CARE-LAZISNU), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)