Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Desentralisasi Korupsi
Sebanyak 19 perkara merupakan hasil OTT, dan 72 tersangka dari pelbagai kalangan; kepala daerah, penegak hukum dan anggota dewan.
Editor: Hasanudin Aco
Peluang itu diantaranya kewenangan kepala daerah mengatur daerah otonom seperti izin eksplorasi sumber daya alam, jabatan kepala dinas sebagai pembina kepegawaian, penguasaan pelaksanaan pelbagai proyek disemua bidang selain urusan pemerintah pusat, pengadaan barang dan jasa, uang “ketuk palu” persetujuan DPRD terhadap pengesahan APBD.
Termasuk pembagian perimbangan keuangan pusat dan daerah; dana bagi hasil, dana alokasi umum dan khusus serta gratifikasi fasilitasi investasi daerah.
Dana hibah, dana darurat, dana penyesuaian, dana bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota dan dana bantuan keuangan provinsi atau dari Pemda lainnya. Kesemuanya merupakan desentralisasi korupsi yang berpeluang dimanfaatkan oleh kepala daerah.
Kegagalan Perkaderan Parpol
Kepala daerah yang dipimpin oleh Gubernur, Bupati dan Walikota rata-rata kader partai politik atau harus didukung dan diajukan oleh partai selain calon independen yang kadang juga diisi oleh kader partai. Pengisian jabatan elected official dapat dikatakan semua berasal dari kader parpol, dari Presiden bahkan hingga kepala desa.
Begitu pentingnya kedudukan parpol dalam sistem ketatanegaraan kita sehingga disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUDN RI 1945, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Fungsi utama parpol sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e UU Parpol ditegaskan bahwa parpol berfungsi sebagai “rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”.
Namun demikian, fungsi vital tersebut belum menyadarkan parpol bahwa mereka memiliki tugas mulia untuk melakukan perkaderan melalui pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat agar menajdi warga negara yang mengerti hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Fakta aksiomatik mahar politik dan jual beli rekomendasi termasuk terhadap kadernya sekalipun dalam pelbagai momen pilkada dijadikan sebagai awal latihan korupsi dalam upaya menduduki jabatan publik pemerintahan. Kasus La Nyalla Mattalitti, Siswandi, Budi Heriyanto Dalimunthe, dan John Krisli merupakan contoh nyata betapa parpol menjadi pedidikan terbaik calon koruptor.
Maka tidak heran, jika banyak pimpinan kepala daerah yang ditangkap oleh KPK dan yang terbaru kasus OTT Adriatma dan Asrun kader PAN juga Imas Aryumningsih kader Partai Golkar karena kegagalan parpol dalam melakukan kaderisasi dalam menerapkan prinsip PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela) dan semua parpol telah menyumbangkan kadernya kedalam jeruji penjara agar dibina dengan baik dan sadar.
Perbuatan korupsi merupakan perbuatan tercela baik dari pendekatan etika berbangsa dan bernegara maupun agama dan yang pasti bertentangan dengan hukum dan merupakan tindak pidana yang sedang diperangi oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Disinilah kegagalan perkaderan parpol dalam menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dan kesadaran hukum yang harus inheren dalam menjalankan roda pemerintahan daerah.