Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Muslim Nge-Friend di Era Strawberry Generation
yang selama ini dikenal sebagai penjaga setia Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Bambang Soesatyo, (Bamsoet) Ketua DPR-RI
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Temuan riset terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-UIN Jakarta (2017), melaluiprogram “Enhancing the Role of Religious Education in Countering Violent Extremism in Indonesia” atau lebih dikenal dengan Convey Indonesia, cukup mengejutkan.
Berdasarkan temuan itu, fenomena pemahaman keagamaan yang ekslusif dan cenderung radikal sudah masuk ke dunia pendidikan.
Bahkan beberapa kampus-kampus ternama di tanah air disinyalir kuat menjadi pusat pengembangan paham-paham radikal yang bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai bangsa majemuk, toleran, dan inklusif.
Mereka secara sistematis berusaha menjadikan para insan akademis, termasuk di dalamnya para mahasiswa, dosen, dan pegawai, menjadi target utama penyebaran paham tersebut.
Temuan ini jelas merupakan tamparan keras bagi para pecinta kemajemukan Indonesia (silent majority), terutama kelompok “muslim moderat” yang selama ini dikenal sebagai penjaga setia Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Satu pesan kuat temuan itu adalah banyaknya anak-anak muda milanial atau dalam istilah Rhenald Kasali strawberry generation, menjadi sasaran empuk berbagai kelompok keagamaan untuk menancapkan benih-benih pengaruhnya.
Anak-anak muda zaman now yang tersebar di kampus-kampus tanah air adalah primadona dan sekaligus target-audiens.
Kelompok mana pun yang bisa meraih “simpati” seluas-luasnya di kalangan anak-anak muda akan menentukan wajah, arah, dan nasib umat Islam Indonesia ke depan, bahkan eksistensi bangsa ini secara keseluruhan.
Tentu saja, gerakan kaum radikal dalam menyebarluaskan jejaring dan pengaruhnya tersebut tidak muncul tiba-tiba. Apa yang mereka “peroleh” saat ini merupakan dampak dari “gerakan” yang didesain dan disiapkan puluhan tahun silam.
Tak hanya itu, watak gerakan mereka pun tampak sangat militan, kompak, berdaya-tahan (endurance), dan kreatif sehingga pada titik tertentu mampu menyihir anak-anak muda, sekelompok usia yang secara psikologis sedang dalam tahap pencarian identitas, untuk bai’at dan bergabung secara sadar-sukarela.
Dalam konteks inilah, gagasan dan gerakan “Muslim Moderat” atau, meminjam istilah Convey Indonesia, “Muslim Ngefriend” serta paham “kebangsaan” sebagai wacana-tandingan (counter discourse) sangat penting dihadirkan dan disebarluaskan secara massif melalui media-media kreatif.
Gagasan atau gerakan ini mesti di design sebagai sebuah strategi budaya dan sekaligus kreatif tentang cara memperkenalkan corak keislaman-kebangsaan yang toleran dengan bahasa gaul khas anak-anak muda zaman kini.
Bagaimanapun, gagasan atau gerakan “muslim moderat” dan “kebangsaan” harus menjadi arus-utama (mainstream) ruang publik dan menjiwai (inspirit) anak-anak muda Indonesia dalam melangkah ke depan. Itulah, antara lain, yang menjadi perhatian serius kita dalam rangka melawan radikalisme di kampus.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.