Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Muslim Nge-Friend di Era Strawberry Generation
yang selama ini dikenal sebagai penjaga setia Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika
Editor: Rachmat Hidayat

Menjadi “Muslim Moderat”
Untuk melawan radikalisme di kampus, kita harus mengutamakan nilai-nilai “muslim moderat” sangat penting. Dalam kamus gaul anak muda, istilah “muslim moderat” acapkali dimaknai sebagai muslim yang “ngefriend”.
Ya, ngefriend bermakna dekat, hangat, bersahabat, asyik, dan penuh cinta. Namun, secara filosofis, istilah ngefriend tak sekadar berkonotasi dekat dan asyik, tapi lebih dari itu mengandung makna “keintiman” (intimacy). Keintiman adalah sebuah karakter yang dinamis.
Bergerak, mengalir, interaktif, bergairah untuk maju (antusias), kemerdekaan ide (idea of progress), dan mudah beradaptasi dengan realitas sosio-kultural yang kompleks dan beragam/plural.
Menjadi muslim moderat berarti berjiwa terbuka, toleran, gaul, menghargai perbedaan, dan sekaligus “Islam banget”. Itu berarti energi ruhaniah keislaman yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari selalu menyejukkan dan bersinergi dengan kebangsaan.
Mereka bangga menjadi muslim, tapi pada saat yang sama urusan “primordial-nya” sudah tuntas. Menjadi muslim, ya otomatis menjadi Indonesia.
Dengan demikian, bagi para pegiat dan penikmat “muslim moderat” acapkali menyelami agama secara asyik-masyuk (eros-oriented-religion). Agama jelas bukan semata “hukum” atau “aturan kaku” yang mengurus soal halal-haram saja.
Tapi lebih dari itu beragama berarti memuliakan sesama manusia, apa pun suku, bangsa, dan keyakinannya. Menjadi muslim moderat harus selalu, meminjam istilah filosof Bertrand Russell, diinspirasi oleh kekuatan cinta dan dibimbing ilmu dalam memaknai setiap nafas kehidupan.
Dengan kata lain, menjadi muslim di ruang publik mesti didasari oleh kesadaran literasi yang melekat dalam setiap jiwa manusia.
Mereka selalu merindu pada Sang Pencipta yang Mahacinta. Sifat-sifat keagungan Tuhan itu harus ditunjukan pada kelembutan cinta-Nya. Puncak dari proses itu, tiada lain, adalah akhlak mulia: berdamai dengan alam, menebar kebajikan,merawat keragaman, dan merayakan kemanusiaan.
Mereka adalah generasi “tengah-tengah” (wasathon). Di benaknya hanya memancar sifat-sifat tawasuth (moderat), tawazun(seimbang), adil, dan tasamuh (toleran). Itulah yang dalam istilah NU disebut sebagai “Islam Nusantara”.
Sedangkan dalam istilah Nurcholish Madjid, karakter “muslim moderat” itu dirumuskan dalam sebuah adagium: “keislaman, keindonesiaan dan kemodernan”.
“Api Islam” yang menjadi jalan visoner seorang Cak Nur jelas ingin mensenyawakan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan dalam sebuah bingkai rasionalitas sebagai respon terhadap alam pikiran modern.
Mereka tak pernah ekstrim, baik dalam pikiran maupun tindakan. Seorang muslim sejati selalu merawat dan menghargai eksistensi kelompok lain. “Islam itu ramah, bukan marah”.

