Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Insyaa Allah, Ini Jendral Amanah!
MEMBACA tulisan TB. Ardi Januar, dengan judul Menyesal Kenal Sudrajat, kenangan saya tiba-tiba kembali ke tahun 1993-95.
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: M. Nigara
MEMBACA tulisan TB. Ardi Januar, dengan judul Menyesal Kenal Sudrajat, kenangan saya tiba-tiba kembali ke tahun 1993-95.
Saat itu, saya, tiga sahabat saya; Falkoni (karateka nasional), Syahril Osen (direksi Andromeda Bank), dan Ucok Marisi (kini direktur Cukai, BEA dan Cukai), sangat sering dipanggil untuk berdiskusi ke Cilangkap, markas besar ABRI, oleh Kasum ABRI, Letjen HBL. Mantiri yang saat itu menjadi Ketua Umum PP INKAI.
Saat itu, ABRI adalah satu-satunya kekuatan yang paling nyata setelah presiden. ABRI kala itu menjadi penentu kearah mana negeri ini akan dijalankan, lagi-lagi setelah presiden. ABRI adalah super power, jadi jangan heran jika semua cukong (istilah untuk pengusaha Taipan) berlomba-lomba merapat ke Cilangkap.
Tidak jarang sebelum atau sesudah bertemu Pak Mantiri yang sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri, kami bertemu dan berdialog dengan Kolonel Sudrajat.
Pamen yang satu ini sangat berbeda dengan pamen-pamen ABRI lainnya. Gaya bicaranya runtut, detail, dan sangat santun. Bahkan, ketika ia sudah naik pangkat menjadi brigjen dan menduduki pos Wakapuspen pun sikap dan bicaranya sangat santun.
Padahal, tidak sedikit pamen apalagi pati (khususnya yang berbintang 1 dan 2) menampilkan kesan sangar. Bahkan jendral berbintang empat pun tak sedikit yang menurut catatan anak zaman now disebut lebay.
"Apa?" bentak Panglima ABRI, Jendral TNI, LB. Moerdani ke arah saya yang berusaha mewawancarainya terkait peran ABRI dalam dunia olahraga.
"Dari dulu, dari zaman Majaphit, ABRI sudah berperan dalam dunia olahraga!" katanya lagi dengan suara yang tetap tinggi.
Kontan seluruh daftar pertanyaan saya yang ada di kepala, sirna. Apalagi saat saya melakukan door stop itu, saya dihalang-halangi. Beruntung ada Pak Kardono, Sekmil yang kebetulan menjadi Ketua Umum PSSI. Panglima ABRI datang ke stadion Soemantri Brojonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan.
Bahkan, tak sekali pun kami, khususnya saya, mendengar si Akang ini memanfaatkan posisinya sebagai orang yang paling dekat dengan Panglima ABRI kala itu, Jendral TNI, Faisal Tanjung kemudian digantikan oleh Jendral TNI Wiranto, Kasum dan Kasospol ABRI, Letjen HBL Mantiri serta Letjen Hartono yang kemudian menjadi Kasad.
Mengungsi
Dan yang paling menarik, Kang Drajat lebih suka berada di ruang tunggu Pak Mantiri ketimbang di ruang kerjanya. Kok? Jangan salah sangka, si Akang terpaksa mengungsi karena di kantornya terlalu banyak cukong.
"Dari pada ada fitnah, lebih enak di sini, " tukasnya sambil tersenyum.
Saat itu, tak sedikit jendral yang didekati dan 'disupport' lahir dan batin dari para cukong. Meski tentu tidak semua, satu di antaranya Kang Drajat.
Nah, si akang bukan type seperti itu. Bahkan ada anekdot yang beredar di kalangan wartawan peliput ABRI, di era si Akang menjadi Kapuspenlah 'kesejehteraan' wartawan melorot. "Songki-songki (kosong-kosong) aja nih!" sindir mereka.
Si Akang hanya tersenyum "Saya gak punya sumbernya," tukasnya ketika saya tanya mengapa demikian.
Ya, si akang memang tidak dekat dengan para cukong. Tapi, jangan tanya soal pemberitaan. Media-media tetap mau memberitakan karena peran si akang dalam bergaul dengan para wartawan juga sangat enak.
Biasanya untuk membuat jembatan akrab, si Akang selalu cerita soal namanya yang hanya satu kata Sudrajat.
"Waktu saya sekolah di Amerika, profesor saya berulang kali bertanya. "Are your sure only Sudrajat?" kenangnya.
"Karena dianggap aneh menurut sang profesor, maka tiba-tiba saya memperoleh kertas kerja dengan nama Nn. Sudrajat, " tambahnya.
Si Akang lalu bertanya mengapa ada Nn di depan namanya dan apa kepanjangan Nn itu. "Nn is No name," jawab si profesor.
Biasanya orang langsung tertawa, apa lagi gaya ceritanya cukup lucu dan bahasa Indonesianya kental dengan bahasa sunda.
Hidup Hanya Sebentar
"Hidup hanya sebentar, berat pertanggungjawabannya nanti," katanya tanpa berusaha memberi nasehat.
Tak heran jika Kang Drajat kini hidup biasa-biasa saja. Jauh dari kesan mewah, padahal tidak sedikit jendral purnawirawan masih hidup dengan kemewahan.
Jadi, insyaa Allah, jika Allah memberi kepercayaan untuk menjadi gubernur di Jabar, si Akang akan amanah. Dulu saja saat masih relatif muda, saat ABRI masih penuh kuasa, si Akang bisa menghindari para cukong, apalagi sekarang usianya sudah semakin menua.
Ya, sebagai warga Jabar, saya tinggal di Cinere, Depok, sungguh saya berharap propinsi dengan penduduk terbesar di tanah air, dapat pemimpin yang bukan tergolong orang munafik.
Orang yang janji selangit tapi begitu ditagih, lari terbirit-birit. Calon pemimpin yang suka tebar pesona, begitu jadi lebih suka ngumpulin harta. Apalagi calon yang pernah dengan kasat mata memusuhi ulama dan agama islam, agama pasti jadi nomer dua atau tiga.
Ingat, dua menit di balik bilik, mencoblos dengan sederhana, tapi berat tanggung jawabnya. Sekarang kita bisa tertawa-tawa, sekarang kita bisa bicara :"Ini urusan dunia, waktu di akirat kita tak bisa bicara ini urusan dunia!"
Orang boleh bilang hidup setelah mati adalah khayalan karena nota-bene kita belum pernah ke sana. Tapi, kita harus tetap percaya.
Semoga bermanfaat..
* M. Nigara, Mantan Wakil Sekjen PWI