Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sengkarut Divestasi Saham Freeport: Merugikan Bangsa dan Pemerintah Tidak Berkutik
Estimasi ore yang digali PTFI setahunnya mencapai 2,5 milyar ton dan 90 persen tailingnya dibuang di sungai.
Editor: Choirul Arifin
Mengapa mesti membeli saham Rio Tinto 40% senilai sekitar $4 milyar untuk menggenapkan saham pemerintah menjadi 51%? Bukankah PTFI harus membayar mahal ke pemerintah atas kelalaiannya mengelola lingkunga?
Hasil audit lingkungan BPK tahun 2017 yang dimuat di majalah Tempo 8 Mei 2017 menegaskan bahwa potensi kerugian atas kelalaian PTFI mengelola lingkungan mencapai Rp 185 trilliun.
Nilai kerusakan terbesar berasal dari laut, yaitu Rp. 166T. Potensi kerugian dihitung berdasarkan perubahan ekosistem dan angka kerugian nelayan. Bukankah angka 166 trilliun itu cukup untuk mengambil alih 100% saham PTFI?
Pelanggaran Lingkungan
Laporan Tempo (2 Mei 2017) merinci pelanggaran lingkungan PTFI yaitu: pertama, pelanggaran penggunaan kawasan hutan lindung seluas 4.535,93 karena tidak memilki izin Pinjam Pakai pada 2008-2015.
Kedua, kelebihan pencairan reklamasi sebesar Rp. 19, 4 milyar. Ketiga, penambagan bawah tanah tanpa izin lingkungan. Keempat, penambangan PTFI menimbulkan kerusakan, terutama tailing yang dibuang di sungai, muara dan laut.
Kelima, belum menyetorkan kewajiban dana jaminan reklamasi periode 2016. Mengingat begitu parahnya tata kelola lingkungan PTFI ketegasan pemerintah diperlukan agar isu lingkungan ini tidak dijadikan isu marjinal dalam proses divestasi.
Angka taksiran BPK perihal kerugian negara atas kerusakan lingkungan sejatinya dijadikan bargaining agar saham yang diperoleh pemerintah paling tidak sekitar 80% tanpa harus membeli sahamnya.
Jangan Dipolitisasi
Mengingat perundingan divestasi yang masih panjang dan kemungkinan mengalami deadlock, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru memberi harapan palsu.
Rakyat sudah lelah diiming-imingi janji akan pebangunan yang berdikari dalam bingkai Nawacita.
Pemerintah seharusnya terbuka dalam setiap tahapan negosiasi dan memaparkan kendala yang dihadapi. PTFI telah terbukti tidak memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam mencari solusi terbaik selama perundingan divestasi saham.
Seandainya PTFI tetap ngotot dengan pendiriannya yang egoistis, pemerintah bisa saja mengambil langkah cerdas untuk menarik diri dari perundingan.
Sebagai bangsa yang berdaulat, sejatinya Indonesia jangan mau didikte oleh perusahaan asing yang telah mengeruk kekayaan alam nya selama lebih dari setengah abad.
Penulis: Dr Sawedi Muhammad, dosen sosiologi Fisip Unhas