Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemerintah Myanmar Wajib Jalankan Keputusan PBB Terkait Rohingya
Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi' Munawar mendorong Pemerintah Myanmar menjalankan rekomendasi tim pencari fakta Perseri
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi' Munawar mendorong Pemerintah Myanmar menjalankan rekomendasi tim pencari fakta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terkait tragedi di Rakhine terhadap etnis Rohingya.
"Laporan dari tim independen PBB perlu ditindaklanjuti oleh komunitas internasional untuk menekan pemerintah Myanmar atas kejahatan kemanusiaan yang telah mereka lakukan terhadap etnis Rohingya." Disampaikan oleh Rofi Munawar dalam keterangan pers yang disampaikan kepada media pada hari Sabtu (1/9/2018).
Baca: Soal Mantan Koruptor Jadi Caleg, Bawaslu: Kami Juga Semangat Anti-korupsi, Tetapi dengan Prosedur
Rofi juga mendorong PBB dan ASEAN menanggapi temuan ini sebagai landasan untuk membawa para pelaku kejahatan ke meja pengadilan.
Secara normatif, Piagam PBB, terutama pada Chapter VI dan VII, mewajibkan negara-negara anggotnya untuk melakukan intervensi kemanusiaan apabila suatu kelompok terancam dari bahaya genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, serta kejahatan kemanusiaan (responsibility to protect).
Sebagaimana temuan PBB, kejadian yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar telah memenuhi persyaratan tersebut.
"Pemerintah Indonesia, baik melalui ASEAN maupun PBB, dapat memberikan tekanan terhadap pemerintah Myanmar untuk mendesak pelaku kejahatan terhadap Rohingya untuk mundur dan diadili di Mahkamah Kejahatan Internasional," tegasnya.
Baca: TNI Kembali Kirim Batalyon Kesehatan ke Lombok
Sebagai langkah awal, komunitas internasional dapat mendesak para petinggi militer Myanmar untuk mundur dari jabatannya karena telah melakukan pelanggaran kemanusiaan.
Pembersihan etnis merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius. Beberapa pelaku kejahatan kemanusiaan yang pernah diadili adalah Slobodan Milosevic (Yugoslavia) dan Slobodan Praljak (Bosnia).
"Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB mulai 2019 mendatang, juga seharusnya dapat lebih berperan dalam penanggulangan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya," kata legislator asal Fraksi PKS tersebut.
Pemerintah Myanmar menolak laporan tim gabungan pencari fakta PBB yang menyatakan bahwasanya terdapat enam jendral yang bertanggung jawab terhadap perbuatan genosida dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok Rohingya di negara tersebut.
Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa laporan ini bersifat sepihak dan bertujuan untuk menekan negaranya. Pemerintah Myanmar menegaskan bahwa operasi tersebut bertujuan untuk menghadapi ancaman pemberontakan dan mencari sasaran militan.
Sebagaimana laporan tim independen PBB yang dirilis pada Senin (27/8/2018), disebutkan bahwasanya enam jendral yang dimaksud adalah Panglima Tatmadaw Jenderal Min Aung Hlaing, Deputi Panglima Jenderal Soe Win, dan Komandan Biro Operasi Khusus 3, Letnan Jenderal Aung Kyaw Zaw.
Tim investigasi independen juga menyebut nama Komandan Komando Militer Regional Barat, Mayor Jenderal Maung Maung Soe, Komandan Divisi Infantri Ringan 33, Brigadir Jenderal Aung-Aung, dan Komandan Divisi Infantri Ringan 99, Brigadir Jenderal Than Oo.
Tim gabungan dari PBB juga merekomendasikan Jendral Min Aung Hlaing untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Laporan ini juga menyebutkan bahwasanya taktik militer Myanmar tidak berimbang dengan ancaman yang dihadapi, dengan merujuk pada perlakuan kasar terhadap etnis minoritas Rohingya.
Tim gabungan yang diketuai oleh Marzuki Darusman ini juga mengkritik Aung San Suu Kyi yang tidak menggunakan posisi de fakto sebagai kepala pemerintahan untuk mencegah kejadian di Rakhine.
Oleh sebab itu, tim ini juga merekomendasikan akan adanya pengajuan kasus pelanggaran kemanusiaan ini ke International Criminal Court (ICC) agar dapat menyeret para pelaku ke meja pengadilan. Laporan yang lebih komprehensif akan diberikan pada 18 September mendatang.