Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

'Lupa Mengembalikan Barang Orang Lain'

Mantan menpora mengkritik penampilan Jokowi via video conference dari Lombok pada penutupan Asian Games yang baru usai, dia langsung dapat balasan

Editor: Yudie Thirzano
zoom-in 'Lupa Mengembalikan Barang Orang Lain'
pexels.com
Ilustrasi 

Oleh: Xavier Quentin Pranata*

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saya turun dari apartemen pakai lift. Begitu masuk elevator, saya menemukan sebuah microwave yang masih bagus dan tampaknya masih bisa dipakai.

“Di sini ada saja orang nakal yang membuang barang bekasnya di sembarang tempat,” ujar seorang rekan mahasiswa Indonesia di Sydney yang satu lift dengan saya.

Saya tidak tahu apakah ada orang nakal yang sengaja meninggalkan microwave-nya di dalam lift karena malas membuangnya atau lupa meninggalkannya di sana. Kemungkinan terakhir kok tampaknya perlu dicoret.

Namun, kalau meninggalkan barang sebesar itu di dalam bilik lift kok ya keterlaluan.

Seorang sahabat yang kuliah di Mellbourne menceritakan pengalamannya yang memalukan. Suatu hari dia bersama teman hendak hang out.

Saat menunggu jemputan, mereka melihat sebuah furniture yang masih mengkilap ada di atas rumput di pinggir jalan. “Wah, rezeki nomplok nih,” batinnya, “kok ada orang membuang meja sebagus ini.”

Berita Rekomendasi

Segera saja dia memanggil teman-teman seapartemen untuk membantunya mengangkat meja itu ke unitnya di atas.

Baru saja mereka hendak mengangkatnya ada seorang bapak kulit putih bergegas mendekati mereka dan berkata, “Maaf, meja itu tidak dibuang. Saya baru membelinya dari toko dan belum sempat membawanya naik.” Ucapan itu langsung membuat muka para mahasiwa yang kuliah di ibukota Victoria itu merah padam.

Kisah di atas mengingatkan saya akan perdebatan waktu kuliah dulu. “Orang Indonesia memang tidak mempunyai sense of belonging sehingga sarana umum banyak yang rusak atau hilang,” ujar seorang mahasiswa. “Ah, sebaliknya,” timpal saya, “rasa memiliki sebagian orang kita begitu tinggi sehingga telepon umum pun di anggap milik sendiri sehingga dibawa pulang.”

Jawaban saya mengundang koor ketawa berkepanjangan. Ah, jadi rindu masa mahasiswa dulu saat kita bisa bicara banyak tanpa dianggap nyinyir. Bukankah belakangan ini kata ‘nyinyir’ sering disandingkan dan dibandingkan dengan kata ‘mengkritik’. Bedanya, ‘nyinyir’ itu bicara tanpa fakta dan data dan cenderung tendensius dan selalu mencari-cari kesalahan.

Ketika mantan menpora mengkritik penampilan Jokowi lewat video conference dari Lombok pada penutupan Asian Games yang baru saja usai, dia langsung mendapat balasannya dengan kasus aset negara sebanyak 3226 yang katanya belum dikembalikan. Polemik ini, saat saya menulis kolom ini, masih ramai berlangsung bahkan menduduki tempat atas trending topic di Indonesia.

Baca: Roy Suryo Merasa Difitnah, Mengaku Sama Sekali Tidak Menguasai BMN yang Dimaksud

Soal hak milik memang menjadi sering jadi polemik. Saat seorang pejabat turun dari jabatannya, rumah dinasnya seringkali susah untuk diminta kembali. Peristiwa pengusiran paksa sering menjadi drama di televisi. Mungkin karena sudah terlalu lama menempati sehingga merasa berhak. Seandainya ada pengaturan yang lebih baik—misalnya lewat perjanjian tertulis—peristiwa menghebohkan dan memalukan ini tidak sampai ramai. Atau jangan-jangan sudah ada peraturan itu tapi tidak dibaca atau lupa.

Jika rumah saja sulit diminta kembali, apalagi barang-barang di dalamnya. Anggota DPR yang sudah tidak menjabat untuk periode berikutnya sampai harus diminta untuk mengembalikan mobil dinasnya. Mengapa sampai diminta? Karena sekian lama tidak dikembalikan. Kalaupun dikembalikan, kondisinya memprihatikan. Mungkin karena merasa bukan miliknya, jadi perawatannya jarang atau sama sekali tidak dirawat. Bicara soal memakai barang milik orang lain menjadi gurauan seru saat ngopi. Guyonan yang tidak lucu menurut saya karena masalahnya serius.

Baca: SBY Perintahkan Roy Suryo untuk Segera Kembalikan 3.226 Barang Milik Negara yang Telah Ditagih

Salah satu joke tersebut saya ingat persis. Seorang bapak didakwa mencuri sapi milik tetangganya. “Saya tidak mencuri Bapak Hakim,” ujarnya membela diri. “Kalau tidak mencuri, kok sapi itu bisa sampai di kandangmu?” kejar Hakim yang mulia. “Begini Pak Hakim, saya sedang jalan-jalan dan menemukan tali,” ujar terdakwa, “saya ambil tali itu dan saya bawa pulang. Saya tidak tahu kalau di ujung tali ada sapi yang terikat lehernya.”

Kasus yang sama terjadi jika kita dipinjami barang dalam waktu yang lama. Karena sudah terbiasa memakai barang itu, maka saat diminta pun enggan kita kembalikan. Bisa karena kita begitu mencintai barang itu atau terlanjur kita jual karena merasa milik kita sendiri. Ah, ketimbang nyinyir terhadap kasus orang lain, bukankah jauh lebih elok jika kita mulai menginventaris barang-barang di rumah kita.

Siapa tahu ada yang milik orang lain. Jika ketemu barang-barang milik orang lain yang belum kita kembalikan, segera ambil dan masukkan kardus dan kembalikan ke pemiliknya. Senyampang kardus masih ngehits dan laku dijual!

• Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

Baca: Jawab Tudingan Kemenpora, Roy Suryo Duga Ada Unsur Politik

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas