Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Aksi Pembakaran Bendera, Mengapa Anak-anak Ada di Situ?

Seiring dengan kian hangatnya tahun politik menyongsong 2019, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) tidak antipolitik. Politik, bagi LPAI, dapat

Editor: Samuel Febrianto

Dirikimkan oleh LPAI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seiring dengan kian hangatnya tahun politik menyongsong 2019, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) tidak antipolitik. Politik, bagi LPAI, dapat dibedakan menjadi dua ragam. Pertama, low politics. Politik yang satu ini tidak jauh-jauh dari persoalan menang kalah, hitam putih. LPAI pilih buang muka.

Baca: Kiai Maruf Lantik TKD dan Pimpinan Rumah KMA Provinsi Kalimantan Tengah

Politik kedua, diistilahkan sebagai high politics, berurusan dengan hajat hidup orang banyak. Titik pandang tidak sebatas pada siapa pemenang dan siapa pecundang. High politics hidup di bahasan-bahasan tentang bagaimana menyejahterakan sebanyak mungkin warga bangsa, teristimewa anak-anak. Kepentingan anak menjadi lantai, langit, sekaligus ufuk kerja LPAI. Terhadap high politics, LPAI tak memalingkan muka.




Betapa pun kasus yang menggedor pintu LPAI bersangkut paut dengan low politics, namun kami tetap berikhtiar menanganinya dengan pijakan high politics.

LPAI menjaga jarak dari polemik tentang bendera dan ormas yang melakukan pembakaran. Sebagai organisasi perlindungan anak, kerisauan LPAI berpusat semata-mata pada adanya perlibatan anak-anak pada aksi pembakaran bendera oleh ormas tersebut.

Pembakaran bendera sebagai sebuah aktivitas simbolik tidak serta-merta dapat dipahami oleh anak-anak sebagaimana pemahaman yang dipunyai orang dewasa.

Dengan kebersahajaan pola pikir kanak-kanak, perilaku membakar bendera sedemikian rupa justru dapat memunculkan kebingungan luar biasa pada anak.

BERITA TERKAIT

Anak-anak dapat bertanya-tanya ihwal apa yang salah dengan bendera tersebut, mengapa pembakaran bendera diadakan pada momen tertentu, mengapa pembakaran dilakukan oleh pihak tertentu, dan apa tujuan yang ingin dicapai lewat aksi pembakaran tersebut.

Dan karena referensi utama anak-anak untuk memberikan makna terhadap dunianya adalah informasi/pengetahuan yang bersumber dari keluarga, tempat pendidikan, kelompok di mana anak menjadi anggotanya, serta teman-teman sebayanya, maka berpotensi menjadi persoalan yang tidak ringan bagi seluruh pihak tersebut untuk membangun sekaligus mengintegralkan pemahaman utuh pada diri anak mengenai pembakaran tersebut.

Baca: Ingin Makan Malam tapi Takut Gendut? Konsumsi 6 Makanan Ini Aman Tanpa Naikkan Berat Badan

Di dalam ruang pemahaman yang vakum pada anak-anak itulah yang LPAI khawatirkan akan terisi interpretasi-interpretasi yang tidak positif bahkan potensial berisiko buruk bagi proses tumbuh kembang anak.

Ambil misal, LPAI waswas, aksi pembakaran sedemikian rupa akan lebih terasosiasi dengan low politics ketimbang high politics.

Aksi pembakaran sulit ditafsirkan sebagai kegiatan penyejahteraan warga bangsa. Aksi pembakaran justru lebih rentan dimaknakan sebagai gelagat permusuhan satu pihak ke pihak lain (destruktif).

Manakala tindak-tanduk yang terkesan destruktif itu menyertakan anak-anak dalam perlibatan aktif, sadar tidak sadar berlangsunglah proses transmisi unsur destruktif itu dengan begitu derasnya ke anak-anak.

Padahal, terhadap anak-anak, adalah mutlak bagi semua pihak untuk memastikan terpenuhinya hak mereka atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas