Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membangun Karakter Generasi Milenial
Bila mau menghancurkan suatu bangsa, maka hancurkanlah karakter generasi mudanya. Itulah adagium yang berlaku universal sampai hari ini.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Endah Suciati
TRIBUNNEWS.COM - Bila mau menghancurkan suatu bangsa, maka hancurkanlah karakter generasi mudanya. Itulah adagium yang berlaku universal sampai hari ini.
Oleh karena itu, agar sebuah bangsa tidak mudah dihancurkan, maka karakter generasi mudanya harus dibangun dengan baik.
Karakter yang kuat dari suatu bangsa akan menentukan kuat atau tidaknya, dan maju atau mundurnya, bangsa tersebut. Jepang, misalnya.
Tentara Sekutu pada 6 dan 9 Agustus 1945 menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, sehingga kedua kota itu pun luluh-lantak bersama penduduknya.
Namun karena karakter bangsa Jepang demikian kuat, maka dalam waktu tak terlalu lama bangsa itu bisa bangkit, dan kini menjadi salah satu negara maju di kawasan Asia bahkan dunia.
Karakter tidak dapat diwariskan, melainkan harus dibangun dan dikembangkan secara sadar dan terus-menerus melalui proses panjang atau tidak instan. Karakter bukan bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah seperti sidik jari.
Kini, generasi muda lebih populer dengan sebutan generasi milenial. Dukutip dari Wikipedia Indonesia, generasi milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y atau Gen-Y) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X).
Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.
Karakteristik milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital.
Generasi milenial lebih terkesan individual, mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai-nilai materialistis, dan kurang peduli untuk membantu sesama jika dibandingkan dengan generasi X pada saat usia yang sama.
Generasi ini bila dilihat dari sisi negatifnya, merupakan pribadi yang pemalas, narsis, dan suka sekali melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.
Sisi positifnya, antara lain generasi milenial merupakan pribadi yang pikirannya terbuka (open minded), pendukung kesetaraan hak, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, mampu mengekspresikan perasaannya, optimis, dan menerima ide-ide baru.
Generasi ini juga menginginkan jadwal kerja yang fleksibel, lebih banyak memiliki 'me time' dalam pekerjaan, dan terbuka pada saran dan kritik, termasuk nasihat karier dari pimpinannya.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas (14 Februari 2018), jumlah penduduk usia muda atau milenial (20-24 tahun) di Indonesia mencapai 90 juta jiwa.
Bila jumlah penduduk Indonesia mencapai 260 juta jiwa, maka keberadaan generasi milenial lebih dari sepertiganya. Alhasil, bila generasi milenial berhasil “dilumpuhkan”, maka lebih dari sepertiga penduduk Indonesia pun “lumpuh”.
Melihat karakteristiknya, tentu tak mudah bagi kita untuk memasuki dunia generasi milenial, apalagi bila hendak menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam rangka membangun karakter mereka. Diperlukan pendekatan yang tepat dan menyenangkan (fun) untuk membangun karakter generasi milenial.
Sementara itu, tantangan dan ancaman yang dihadapi generasi milenial saat ini, dan yang bisa menghancurkan karakter mereka, antara lain adalah narkotika dan zat-zat berbahaya lainnya (narkoba), pornografi dan pornoaksi, hoax (berita palsu), dan hate speech (ujaran kebencian).
Data Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah pecandu narkoba di Indonesia mencapai 5 juta orang. Sebanyak 50 orang di Indonesia setiap hari tewas karena narkoba. Data Bea dan Cukai, Januari-Juni 2018 ada 205 kasus narkoba dengan penindakan barang bukti seberat 3,629 ton yang masuk ke Indonesia. Mencengangkan bukan?
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan adanya peningkatan kasus pornografi dan kejahatan siber atau cyber crime yang melibatkan anak.
Peningkatan ini tak terlepas dari pengaruh dunia digital, khususnya media sosial (medsos) seperti Facebook (FB), Twitter, WhatsApp (WA) Instagram dan sebagainya.
Pada 2012, jumlah kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak tercatat 175 kasus. Jumlah ini meningkat menjadi 247 kasus pada 2013 dan menjadi 322 kasus pada 2014.
Pada 2015, kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak menduduki posisi keempat terbanyak dalam klaster perlindungan anak dengan jumlah 463 kasus. Pada 2016, posisi klaster pornografi dan kejahatan siber naik menjadi peringkat ketiga dengan 587 kasus. Tahun 2017 tercatat ada 514 kasus.
Data Kementerian Komunikasi dan Informasi, ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar hoax. Adapun hate speech, termasuk yang bernuansa suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA), sepanjang tahun 2017, Polri menangani sedikitnya 3.325 kasus ujaran kebencian.
Untuk meng-counter atau melawan tantangan dan ancaman tersebut, penanaman nilai-nilai agama serta nilai-nilai dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mutlak diperlukan.
“Empan-Papan”
Bagaimana semua nilai itu bisa ditanamkan? Sekali lagi, menghadapi generasi milenial diperlukan pendekatan yang tepat dan menyenangkan (fun). Lantas, pendekatan semacam apa yang tepat?
Di luar pendidikan karakter di sekolah, penulis istilahkan sebagai metodologi “empan-papan”. “Empan” atau umpan yang disesuaikan dengan “papan” (tempat, situasi dan kondisi). Pendekatan dogmatis tak cocok lagi bagi generasi milenial.
Misalnya, karena generasi milenial salah satu karakteristiknya perlu “me time” (waktu untuk aku atau diri sendiri), dan itu antara lain diwujudkan dengan “nongkrong” atau “kongkow” di kafe-kafe, maka di meja kafe atau daftar menu serta running text di televisi perlu disisipkan pesan-pesan moral dan agama, serta nilai-nilai empat pilar kebangsaan, antara lain “jaga kebersihan, karena kebersihan sebagian dari iman”; “say no to drug”; “hidup sehat tanpa narkoba”; “pilihan politik boleh beda, kerukunan tetap dijaga”; “jarimu harimaumu”; “cintailah negerimu seperti mencintai pacarmu”; “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”; dan sebagainya.
Begitu pun di bioskop-bioskop. Pemutaran-pemutaran film yang diminati remaja atau generasi milenial semestinya menyisipkan muatan atau konten pendidikan karakter melalui running text di layar lebar yang berisi ungkapan-ungkapan seperti tersebut di atas.
Karena generasi milenial sangat akrab dengan gadget (gamai), bahkan lebih dari 60% waktunya dihabiskan bersama gawai, maka ungkapan-ungkapan di atas juga perlu disisipkan dalam konten-konten di medsos seperti FB, Twitter, WA, Instagram dan sebagainya.
Sekali-sekali generasi milenial juga perlu diajak “out bond” supaya mereka lebih mencintai alam dan lingkungan hidup, sehingga di hati dan jiwa mereka akan tertanam rasa cinta Tanah Air atau nasionalisme.
Tentu masih banyak metode “empan-papan” lain yang bisa dilakukan untuk membangun karakter generasi milenial. Sayangnya, halaman ini terbatas.
Bappenas dan Bank Dunia memprediksi Indonesia akan menempati urutan keempat negara terkuat di dunia dalam hal perekonomian di tahun 2045, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) salah satu yang paling besar di dunia, dan dengan pertumbuhan ekonomi 5% per tahun.
Generasi milenial-lah yang akan menikmati hal tersebut, dan generasi milenial pula yang akan memimpin Indonesia ketika menjadi negara besar di tahun tersebut. Sebab itu, pembangunan karakter generasi milenial sangat penting, jangan sampai karakter mereka justru hancur gara-gara perkembangan teknologi.
Cerdas saja tidak cukup. Cerdas yang berkarakter kuat itulah idealnya.“Kecerdasan yang berkarakter merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan yang sebenarnya,” kata Martin Luther King Jr (1929-1968).
Endah Suciati SPd MPd: Tenaga Pengajar di SMP Batik Surakarta [Tulisan ini pendapat pribadi, tidak mewakili institusi].
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.