Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tiga Petualang dan Penulis Legendaris Diskusi Buku Kilimanjaro Menapak Atap Afrika
Gol A Gong akhir-akhir ini sangat aktif berkeliling Indonesia untuk mengampanyekan Gempa Literasi
Editor: Eko Sutriyanto
PENULIS novel legendaris Balada Si Roy terbitan Gramedia Gol A Gong, bercerita mengenai novelnya yang semula dimuat majalah Hai secara berkala, kemudian dijadikan buku pada era 1990-an. Novel ini akan difilmkan.
Gol A Gong akhir-akhir ini sangat aktif berkeliling Indonesia untuk mengampanyekan Gempa Literasi, gerakan mengajak masyarakat khususnya generasi millennial untuk membaca dan menulis buku.
Meski bersaing dengan gadget di era digital, buku-buku baru senantiasa bermunculan.
Buku "Kilimanjaro Menapak Atap Afrika", contohnya.
Buku bercerita tentang pengalaman Rahmat Hadi, sang penulis, melakukan pendakian ke Gunung Puncak Kilimanjaro di Tanzania, Afrika.
Sebagai satu dari 7 puncak dunia (the world seven summits) berketinggian 5.895 meter dari permukaan laut (mdpl), cerita pendakian ke Kilimanjaro tentunya menarik untuk dibaca dan didiskusikan.
Di sela-sela kesibukannya, Gol A Gong menyempatkan diri berdiskusi tentang Buku Kilimanjaro karya Rahmat Hadi.
Bertempat di Auditorium Rumah Dunia di Serang Banten, acara bertajuk Bincang Buku Kilimanjaro Menapak Atap Afrika pun digelar Minggu, 2 Desember lalu.
Baca: Dua Pendaki Asal Riau Bentangkan Bendera Provinsi di Puncak Gunung Kilimanjaro
Selain Gol A Gong, hadir Rahmat Hadi, Daniel Mahendra juga petualang, penulis sekaligus publisher, dipandu Daru Pamungkas yang juga penulis buku.
“Aku jadi teringat Norman Edwin, Didik Syamsu dan Ogun. Mereka berhasil menaklukkan Kilimanjaro, gunung tertinggi di Afrika. Saat aku jadi wartawan Tabloid Warta Pramuka, beberapa kali menemani Norman Edwin presentasi Seven Summits. Buku Kilimanjaro ini seolah mematahkan anggapan, jika ingin mendaki gunung di luar negeri itu rumit, harus izin ke sana ke mari. Tidak," ujar Gol A Gong.
Di tengah diskusi, ia mengimbuhkan, "Rahmat Hadi, pegawai sebuah perusahaan yang menyediakan alat-alat kesehatan, melakukannya seorang diri. Dia searching di internet, menghubungi travel agent di sana, lalu mendaki.”
“Hadi hanya perlu menyelipkan unsur romance dalam tulisannya agar lebih hidup dan menarik,” katanya.
Acara bincang buku yang berlangsung hangat dan santai ini dihadiri sekitar 50 orang dari berbagai kalangan. Mulai dari komunitas petualang di Jakarta dan banten, serta para siswa kelas menulis yang selama ini dibina komunitas Rumah Dunia pimpinan Gol A Gong dan Tias Katanka, istrinya.
Peserta diskusi mengajukan pertanyaan dengan antusias. Mereka tampaknya tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai motivasi, tantangan dan kendala penulis saat pendakian ke gunung tertinggi di Afrika itu.
“Saya ingin menginspirasi pembaca untuk percaya pada kekuatan mimpi, jangan pernah meragukan kemampuan diri sendiri dalam mencapai mimpi. Bermimpilah, biarkan semesta yang menyiapkan jalannya.” Kata Rahmat Hadi sang penulis saat menutup acara diskusi.
Kilimanjaro – Menapak Atap Afrika
Gunung Kilimanjao adalah gunung tertinggi di Afika, satu dari tujuh puncak dunia (The 7 summits of the wold). Versi Messner, ada tujuh puncak gunung yakni Gunung Everest, Aconcagua, Denali, Kilimanjaro, Vinson, Elbrus, dan Puncak Jaya.
Setiap pendaki gunung atau petualang pasti memiliki angan, obsesi dan mimpi untuk bisa merasakan pengalaman berada di Uhuru Peak, Puncak Kilimanjaro.
Rahmat Hadi atau kerap dipanggil Hadi adalah salah satu penggiat alam yang berhasil mewujudkan angan dan mimpinya mendaki Kilimanjaro. Kisah perjalanan yang diwarnai dengan cobaan dan intrik dituangkan dalam buku ke-2 yang ditulisnya.
Diluncurkan 1 November silam, "Kilimanjaro Menapak Atap Afrika", demikian judul bukunya sudah hadir untuk memuaskan rasa kaingin tahuan pembaca dan penggiat alam tentang gunung Indah nan eksotis itu.
Membaca buku setebal 296 halaman ini ibarat ikut serta dalam perjalanan menjelajah jengkal demi jengkal tanah di belahan benua Afika. Diulas dengan bahasa ringan dan sederhana, pembaca seolah di ajak berjalan bersama langkah sang penulis.
Kisah diawali dengan rencana penulis menjejakkan kaki di gunung lain usai menyelesaikan perjalanan menjenjelajah Himalaya ke Everest Base camp. Perjalanan yang mengisi lembar demi lembar buku pertama Menggapai Mimpi ke Puncak Dunia yang diluncurkan setahun silam. Keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi menghadirkan rasa penasaran untuk kembali menjelajahi gunung-gunung tinggi di dunia. Kilimanjaro akhirnya dipilih untuk petualangan berikutnya.
Membuat rencana tak semudah menjadikannya kenyataan. Halangan, rintangan dan cobaan datang silih berganti. Tak tanggung-tanggung, semua kendala itu nyaris membuat perjalanan ini gagal.
Diawali dengan dilema penulis saat harus memilih antara mengikuti ego dan kata hati untuk berpetualang dan memenuhi keinginan ibunya. Tentunya, sebagai seorang anak yang sangat mencintai ibunya, “keinginan Mama adalah titah”. Penulis pun mengalah dan mengubur keinginannya untuk menjelajah Kilimanjaro.
Cobaa kedua datang saat penulis harus kembali memilih antara keinginan dia dan kepentingan keluarga. Lagi-lagi sang penulis mengalah. Biaya yang sudah disiapkan untuk berpetualang selama tiga minggu di Afrika harus dialihkan untuk melakukan renovasi rumah. Semua tabungan kembali melayang.
Terakhir saat merasa semua rintangan sudah teratasi dan perjalanan siap dilakukan, cobaan kembali menerpa. Kali ini sang penulis harus kehilangan uang dan kepercayaan kepada seseorang yang dikenalnya lewat sosial media.
Seseorang yang mengaku provider pendakian dan berjanji untuk membuat mimpi penulis menjejakkan kaki di Puncak Kilimanjaro menjadi nyata ternyata bermaksud menipu dan mempemainkannya. Kembali penulis kecewa dan nyaris membatalkan semua rencananya. Tak ayal, mimpi ke Afrika harus tertunda selama 2,5 tahun.
Semangat pantang menyerah dan mencoba bangkit dari kekecewaan, penulis kembali memulai segalanya dari awal. Alhasil semua rencana dapat berjalan lancar. Perjalanan membelah cakrawala dari Indonesia ke Tanzania di Afrika Timur akhirnya terwujud. Kisah itu yang mengisi bab-bab awal dari total keseluruhan 15 bab.
Selanjutnya penulis menceritakan pengalaman mulai dari kali pertama menjejakkan kaki di ranah Afrika. Berbagai kejadian menarik dan unik dialami mulai dari proses aklimatisasi (penyesuaian tubuh terhadap cuaca sekitar) hingga detik-detik menjelang puncak Kilimanjaro.
Daya dan tenaga yang sudah terkuras habis oleh perjalanan panjang kembali hampir mengubur mimpinya untuk tiba di Uhuru Peak, Puncak Kilimanjaro. Perjalanan menuju puncak diawali saat detik-detik pergantian hari dalam balutan suhu di bawah nol derajat. Sesaat setelah langkah awal terayun, tak ada kesempatan mundur.
Tiba di puncak atau pulang dengan rasa malu. Puncak bukan bonus, namun puncak adalah target yang harus di capai. Semangat juang dan pantang menyerah kembali menjadi harga mati. Dalam hembusan sisa-sisa nafas tersisa akhirnya penulis bisa melewati masa-masa kritis dan dramatis untuk bisa mengukir sejarah hidup mengibarkan bendera merah putih di Atap Afrika.
Usai Kilimanjaro, penulis yang alumni Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, menghabiskan waktu bersafari di Tanzania. Ia menyaksikan hewan liar di habitat aslinya di Kawasan terliar di dunia itu tersaji apik di bab-bab terakhir.
Bukan tanpa kendala, kali ini tantangannya bukan berasal dari hewan liar dan buas. Tantangannya justru datang dari penduduk Tanzania yang menjadikan turis sebagai tempat mendulang lembaran dollar. Tip yang di sebagian tempat menjadi pilihan untuk satu jasa pelayanan tak berlaku di Tanzania.
Hampir semua petugas wisata mengharapkan (baca: meminta) tip dari wisatawan asing. Mulai dari resepsionis hotel hingga ke juru masak. Bahkan mereka sempat melakukan boikot.