Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pers Adalah Pilar Kemerdekaan Bangsa
Sejarah pers Indonesia adalah jantung kemerdekaan bangsa. Jadi seyogyanya pers Indonesia terus menjaga dan menyalakan spirit kebangsaan
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Tommy Rusihan Arief
Sejarah pers Indonesia adalah jantung kemerdekaan bangsa. Jadi seyogyanya pers Indonesia terus menjaga dan menyalakan spirit kebangsaan. Jangan sampai kemudian terjebak pada dikotomi kelompok.
Apalagi sampai terkapitalisasi pada semangat kelompok apalagi bersifat individualistis. Ketika anak-anak muda wartawan usia 20-an seperti Adam Malik dan kawan-kawan mendirikan LKBN Antara pada 13 Desember 1937 tujuannya adalah membangun semangat kebangsaan dan melawan kolonialisme.
Wartawan muda Adam Malik kemudian kita kenal sebagai tokoh bangsa yang pernah menjadi Menteri Perdagangan, Menteri Luar Negeri jempolan, Ketua DPR/MPR Ri dan Wakil Presiden RI.
Bagi Adam Malik, pers adalah kekuatan kebangsaan yang paling solid. Tidak hanya sekadar kekuatan keempat. Kekuatan pers tidak akan pernah padam. Bahkan oleh perang dunia sekalipun. Demokrasi boleh redup.
Tetapi kekuatan pers akan terus menyala dalam cuaca apapun. Jadi siapapun atau kekuatan politik apapun yang meremehkan pers, akan terjebak pada titik nadir kenihilan.
Persoalannya sekarang apakah pers Indonesia masih berada pada lajur independensi dan semangat non-partisan? Ini pertanyaan besar untuk kita semua.
Pertanyaan besar untuk Indonesia hari ini. Kepada siapakah pers Indonesia kini berpihak? Kepada kebenaran atau kepada pemilik modal? Hukum alami pers adalah kebenaran non absolut. Pers kemudian dibenarkan berpihak pada kepentingan negara bangsa.
Dan hal semacam ini telah dipraktekan sejak Julius Cesar menjadi kaisar Roma 100 tahun sebelum masehi. Bagaimana dengan keberpihakkan pers kepada kepentingan pemilik media. Yang kemudian sengaja atau tidak lantas mencampur adukan kepentingan pribadi dan nilai-nilai luhur dari pers itu sendiri.
Bahkan tidak jarang disandingkan atau disamarkan dengan kepentingan pemilik media sebagai politisi. Bagi saya hal-hal prinsip semacam ini adalah menjadi pertanyaan besar bagi keluhuran pers kebangsaan.
Persoalannya tidak ada aturan formal memang yang mengatur prosedural obyektif pers terkait irisan, persinggungan atau bahkan campur aduk antara kepentingan pemilik media dan posisi politiknya sebagai politisi. Mungkin pada waktunya nanti, sangat diperlukan protokol yang lebih fokus dan terukur soal ini.
Jika tidak saya meragukan tidak akan munculnya reaksi negatif yang bersifat generatif. Karena pada akhirnya masyarakat akan apatis bahkan antipati kepada pers yang selalu menyuarakan kebenaran palsu. Selamat hari pers nasional.
*Tommy Rusihan Arief/Mantan Wartawan/Caleg DPR-RI Dapil Maluku Utara Partai Demokrat