Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pertanggngjawaban Kepala Daerah Belum Mencerminkan Sistem Laporan Pertanggungjawaban yang Demokratis
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Dr. Ismail, SH, MH
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Dengan demikian Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai Kepala Daerah harus dipilih secara demokratis. Tidak ditentukan Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga pemilihan Kepala Daerah juga dapat dilakukan secara tidak langsung, namun tetap harus melalui mekanisme yang demokratis.
Salah satu dimensi demokrasi dalam penyelenggaraan pemeritahan daerah yang lazim bagi negara demokrasi konstitusional adalah pertanggungjawaban setiap bentuk kekuasaan yakni suatu konsep yang menghendaki pembatasan kekuasaan dengan mendasarkan seluruh tindakan pemerintahan pada hukum sekaligus menempatkannya sebagai kedaulatan rakyat dan demokrasi.
Standar demokrasi bagi pertanggungjawaban pemerintah terletak pada konstruksi hukum yang melandasi semua bentuk tindakan hukum pemerintah sebagai lembaga hukum publik, mulai dari tingkat pemerintahan pusat sampai pada tingkat Pemerintahan Daerah.
Pertanggungjawaban merupakan bagian integral dari negara hukum. Persoalannya kemudian adalah siapa yang mempertanggunjawabkan, apa yang mesti dipertanggungjawabkan dan bagaimana cara mempertanggungjawabkannya.
Terkait dengan itu, yang harus dipertanggungjawabkan adalah menyangkut kekuasaan khususnya ruang lingkup dan penyelenggaraannya, sedangkan cara mempertanggungjawabkannya tergantung kepada standar-standar negara hukum.
Sekalipun telah banyak praktik pertanggungjawaban jabatan publik (accountability of public officer) sebagaimana dikehendaki negara-negara demokrasi, tetapi pada kenyataan praktik tersebut banyak mengundang perdebatan teoritis yang belum selesai khususnya; pertama, hubungan antara individu sebagai pejabat dan organisasi sebagai lingkup jabatan; kedua, menyangkut materi pertanggungjawaban yang berkutat pada pertanggungjawaban atas kesalahan (fault), kelalaian (negligence) atau pada kerugian yang ditimbulkan pada pihak lain; ketiga, persoalan institusional yakni kepada siapa dan bagaimana cara pejabat harus mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dilakukan; dan keempat, apakah pertanggungjawaban tersebut dengan suatu sanksi atau tidak.
Kekuasaan Kepala Daerah sebagai pemimpin di daerah otonom, dapat ditegaskan bahwa kekuasaannya bersumber dari hasil pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang didesentralisasikan, ditugasbantukan dan didekonsentrasikan untuk diselenggarakan dalam pemerintahan daerah otonom, sehingga dalam posisi bagaimanapun kekuasaan pemerintahan daerah merupakan hasil dari penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat di luar politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.
Pokok permasalahan yang perlu diperhatikan terkait dengan asas penyelenggaraan pemerintahan adalah apakah setiap pemberian kewenangan dengan asas yang berbeda memiliki substansi, bentuk dan cara pertanggungjawaban yang berbeda.
Pertanggungjawaban Kepala Daerah, pada prinsipnya berpedoman kepada norma hukum yang terdapat pada Pasal 18 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertanggungjawaban tersebut berpedoman pada Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan. Sebagai wakil Pemerintah Pusat yang ditempatkan di daerah bertanggungjawab kepada Presiden.
Sebagai Kepala Daerah bertanggungjawab kepada rakyat yang telah memilihnya. Pertanggungjawaban Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terdiri dari, (a) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kepada Presiden melalui Menteri yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (b) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memuat capaian kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelaksanaan Tugas Pembantuan.
Laporan keterangan pertanggungjawaban memuat hasil penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kepala daerah menyampaikan laporan keterangan pertanggung-jawaban kepada DPRD yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD dibahas oleh DPRD untuk rekomendasi perbaikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. (c) Ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat bersamaan dengan penyampaian laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Memperhatikan, Sistem laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah menurut ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, terlihat belum mencerminkan sistem laporan pertanggunjawaban yang demokratis, mengingat Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat, oleh karena ini pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR RI bersama-sama dengan Presiden harus merubah ketentuan yang mengatur pertanggungjawaban Kepala Daerah.
*Dr. Ismail, SH, MH, Dosen Universitas Bung Karno