Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Letjen Doni Bertanya: Mau Pindah ke Planet Lain?
“Saya menyebut (pemanasan global ini) dengan istilah gosong. (Artinya) global warming bukan omong kosong!” ungkap Doni tegas.
Editor: Hasanudin Aco
Catatan Egy Massadiah
TRIBUNNEWS.COM - Bencana alam mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga pemanasan global adalah realitas saat ini. Kesiagaan menghadapinya menjadi kunci meminimalkan korban jatuh.
Faktor penting, menjaga dampak akibat bencana, apapun penyebabnya. Sebab, jika alam-bumi sudah rusak, tidak mungkin manusia pindah ke planet lain, bukan?
Kepala BNPB Doni Monardo menyentilkan pertanyaan "kepindahan ke planet lain" tersebut dalam Rapat Kordinasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan, Senin (4/3/2019) di Kabupaten Bengkalis, Riau.
Mantan Danjen Kopassus itu, menyoroti perlunya manusia memiliki pengetahuan dan kesiapan yang cukup untuk menghadapi bencana.
Dalam kasus pemasanasan global misalnya, Doni mengemukakan istilah ‘Gosong’ yang menyinggung bahwa naiknya suhu bumi bukanlah isu belaka.
“Saya menyebut (pemanasan global ini) dengan istilah gosong. (Artinya) global warming bukan omong kosong!” ungkap Doni tegas.
Baca: Cerita Tentang Doni Monardo dan Toyota Corolla Bekasnya
Doni menyampaikan bahwa kunci menghadapi bencana adalah dengan menyadari: faktor sikap dan perbuatan manusia.
Bencana yang datang dan banyak merenggut korban serta kerusakan alam umumnya berawal dari ulah manusia sendiri.
Abai Tata Ruang
“Kita tidak disiplin tentang rencana tata ruang wilayah. Pemberian izin bangunan di pinggir sungai, di tempat-tempat yang relatif rendah. Sudah tahu daerah resapan, dipaksakan untuk ditimbun dibangun perumahan. Ketika musim hujan pasti banjir,” papar Doni.
Pembangunan yang berorientasi pada rencana tata ruang wilayah yang benar, seperti zonasi aman dari banjir, aman dari tanah longsor, sungguh diabaikan.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab? Doni, mengajak tidak saling menyalahkan. Sebab pada akhirnya, semua bertanggung jawab.
“Lantas mau marah kepada Pak Gubernur, marah pada Pak Bupati, Walikota. Kenapa kok banjir terus? Lho salah sendiri, kenapa beli rumah di daerah yang rendah. Tapi tanda tanya lagi, lho pengembang dapat izin dari siapa? Jika penataannya benar, insyaallah tidak akan ada rakyat jadi korban. Tidak ada masyarakat yang tiba-tiba mengalami musibah. Semua ini karena kelalaian kita,” ujar Doni.
Tidur Di Rumah Warga
Perihal kebakaran hutan juga menjadi pekerjaan rumah besar Indonesia saat ini. Walau secara data sudah menurun dibanding periode sebelumnya, tapi kebakaran hutan masih bisa terjadi, terlebih di musim kemarau.
Di Bengkalis Doni menyerap aspirasi warga dan para kepala desa. Dari sini ia kemudian memetakan akar masalah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
"Saya tanya pada bapak ibu kepala desa yang hadir, bahwa dari data yang kami kumpulkan penyebab kebakaran hutan dan lahan 99 % disebabkan oleh perbuatan manusia, sedangkan 1% persen karena faktor alam. Itu disetujui oleh seluruh yang hadir.”
"Kemudian saya tanya lagi, berapa banyak disengaja, berapa banyak tidak disengaja. Ternyata yang tidak disengaja paling sedikit. Mungkin karena buang puntung rokok atau bakar sampah. Lantas saya tanya lagi, karena disengaja: saya bagi dua, disengaja karena buka ladang atau karena disengaja karena dibayar. Jawaban paling banyak karena ada pihak yang membayar. Sekarang pertanyaannya, siapa yang bayar? Nah aparat penegak hukum harus menindaknya," ungkap Doni.
Gairahkan Ekonomi
Salah satu solusinya menurut Doni adalah menggairahkan ekonomi rakyat setempat. Misalnya di tanah itu rakyat mesti memiliki kegiatan ekonomi yang memberikan pendapatan memadai. "Maka otomatis rakyat akan ikut menjaga dan tidak mungkin mau dibayar lagi untuk membakar pembukaan lahan, " tambah Doni.
Termasuk juga secara paralel masyarakat diajak bercocok tanam, beternak, misalnya. Hal ini bisa meningkatkan kesejahteraan tanpa menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan.
Doni kemudian mengutip pernyataan Lau Tze (570 SM) yang terkenal: Temuilah rakyatmu, hiduplah bersama, mulai dari apa yang ada.
Doni meminta tim gabungan para tokoh masyarakat, TNI, Polisi, akademisi serta ulama mendatangi rumah rakyat (terindikasi kelompok pembakar lahan). Mereka wajib menginap di rumah rakyat, berdialog dari hati ke hati, hingga muncul kesadaran betapa berbahayanya membuka lahan dengan membakar.
Menurut Doni, BNPB tengah berdiskusi dengan markas besar TNI dan Polri. Kelak nantinya tim gabungan ini diperkuat oleh sejumlah kementerian dan lembaga antara lain LHK, Pertanian, para penyuluh, menjadi tim yang terintegrasi secara terpadu.
"Satu bulan menjelang musim kemarau, tim sudah berada di tengah tengah masyarakat. Kita mendekati masyarakat sebab penyebab terjadinya kebakaran adalah manusia juga. Masyarakat kita sentuh hatinya, supaya tidak agi mau melakukan pembakaran, baik disengaja maupun tidak disengaja. Baik disengaja karena keinginan sendiri atau karena dibayar oleh orang lain," ujar Doni.
Secara berkelakar Doni menyentil hadirin dengan mengatakan mungkin masyarakat Riau terlalu ramah dan baik, membiarkan udaranya rusak, alamnya tercemar, bahkan mendiamkan halaman rumahnya dibakar.
"Saya yakin semangat ke depan, tidak boleh terjadi lagi. Ini demi menyelamatkan generasi muda Riau yang akan datang,” ungkap Doni gemas.
Sinergitas Pentahelix
Kata Pentahelix mencolek dan membangunkan banyak pihak. Dalam pengertian sederhana semacam kerangka kerja dalam berkegiatan dan berkarya.
Ada lima pihak yang harus diperhatikan peran, kepentingan, maupun karakternya. Yakni pemerintah (administration), masyarakat (society), bisnis (business), peneliti (knowledge), dan investor (kapital).
Doni menyampaikan salah satu solusi penyelesaian kerusakan alam, khususnya di Indonesia adalah dengan pendekatan strategi Pentahelix.
Konsep Pentahelix sudah diujicoba dalam penanganan Citarum di Jawa Barat. Setidaknya jitu dengan hasil yang menggembirakan.
Secara umum pendekatan ini menekankan skema dengan lima komponen yang bekerja bersamaan penuh sinergi, khususnya penanganan masalah lingkungan.
Lima komponen ini adalah pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media.
Melihat potensi ancaman kebakaran hutan dan lahan, Doni mengatakan bahwa melalui ruh sinergitas Pentahelix inilah diharapkan persoalan yang berhubungan dengan kebakaran hutan bisa diperkecil dampaknya.
Doni menjabarkan, “Komponen pertama dan utama adalah pemerintah, baik pusat dan daerah, dibantu oleh TNI-Polri. Komponen kedua adalah akademisi, para pakar.
Di sini ada perguruan tinggi, para mahasiswa, dosen, peneliti, bisa menjadi bagian dari tim ini.”
“Ketiga adalah dunia usaha. Bapak ibu sekalian bisa berperan lebih banyak untuk membantu meningkatkan ekonomi masyarakat dan juga mendorong untuk tidak lagi terjadi kebakaran hutan dan lahan. Keempat adalah komunitas, para relawan. Kita gugah supaya muncul semangat pemuda pemuda yang tidak rela kalau hutannya dirusak, kalau lahannya dibakar. Termasuk juga para ulama. Kita berharap para ulama ikut dalam program ini. Pendekatan hati saya pikir akan jauh lebih efektif. Komponen yang kelima adalah media,” imbuh mantan Komandan Paspampres ini.
Doni pun menekankan jangan menunggu sampai kehancuran lingkungan menyergap baru muncul kesadaran. Baginya, tidak ada tempat tinggal lain kecuali bumi kita ini. Kalau rusak, tidak mungkin manusia pindah ke planet lain.
“Oleh karenanya, mari kita jaga alam kita. Tidak ada planet di tatasurya ini (yang bisa kita tinggali), kecuali planet bumi yang kita duduki sekarang ini. Kalau kita rusak sekarang, lima, sepuluh, seratus tahun yang akan datang, kita mungkin tidak bisa tinggal lagi di planet kita. Apa kita mau pindah ke planet lain?!” pungkas Doni.
Egy Massadiah: Penulis Mantan Wartawan dan Aktivis Teater