Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mewaspadai Munculnya Kaum Khawarij Model Baru
Pada era elektronik, masyarakat mengenal alat komunikasi seperti radio telegram, telepon genggam (smartphone), televisi, tablet, ipad, dan internet.
Editor: Hasanudin Aco
Tak ada lagi sekat antara tua maupun muda, laki-laki atau perempuan, guru atau pun murid, dan yang saat ini ramai diperbincangkan ulama dan bukan ulama.
Semua kehilangan sifat sosialnya lantaran lebih suka berhubungan lewat internet ketimbang bertemu secara langsung (face to face).
Perubahan pola dalam melakukan berinteraksi, membuat kita cenderung menutup diri dari pergaulan. Kita tak bisa membedakan ekspresi canda, tawa, marah, sedih, ataupun bahagia.
Sisi lain yang berubah adalah bagaimana cara orang berpikir. Karena merasa tak lagi memerlukan orang lain dalam mencari sesuatu, termasuk pengetahuan agama, maka seseorang merasa dapat menemukan kebenaran secara mudah.
Tinggal buka aplikasi pemudah video, lalu dengarkan. Atau cukup dengan berselancar di internet lalu seketika kepalanya merasa penuh dengan limpahan ilmu dan hidayah.
Kulminasi dari proses pencariannya tersebut adalah ‘merasa paling benar’. Dalam hal ini kurangnya latar belakang kafaah syar’iyah dan pendalaman bidang hukum Islam telah membuat kebanyakan orang saat ini cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa kurang luasnya wawasan, mendorong orang mencomot sepotong dalil lalu melupakan dalil lainnya. Akibatnya pemahaman seseorang menjadi tidak komprehensif.
Kita pun lalu menjadi mudah memberi vonis benar, salah, atau bahkan kafir kepada orang lain yang tak sama cara berpikirnya. Apalagi di saat media sosial semakin mendominasi literasi dan percakapan publik.
Dosa-dosa yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar untuk memposisikannya di dalam kekafiran.
Cara pandang hitam putih ini lalu kian nyata terasa dalam berbagai pernyataan pemimpin dan ummat Islam.
Aroma untuk memojokkan dan melemparkan setiap pikiran dan cara pandang yang berbeda terasa dalam sikap dan ucapan sehari-hari. Para pemimpin negeri Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan kemungkaran.
Bagi mereka, pembiaran kemungkaran sudah cukup untuk memberi label penguasa atau pemimpin ‘kafir’
Pemahaman seperti ini jelas membawa siapa pun menjadi semakin eksklusif.
Adanya perbedaan akan menjadi legitimasi bahwa seseorang bisa dikeluarkan dari kelompoknya.
Minna dan minhum seringkali menjadi diksi yang dipilih untuk menegaskan sikap dan pendapatnya.
Bila ini hanya sekadar efek dari demam electronic age, mungkin kita masih bisa berharap badai ini segera cepat berlalu.
Tapi jika ini tak sekadar karena demam electronic age, maka tentu kita patut khawatir, jangan-jangan ini gejala lahirnya ‘khawarij model baru’ di tengah kita.