Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Menang Ojo Umuk, Kalah Ojo Ngamuk

Dengan demikian, semangat “menang ojo umuk, kalah ojo ngamuk” bukan hanya berlaku usai pemilu saja, melainkan juga selamanya.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Menang Ojo Umuk, Kalah Ojo Ngamuk
Ist/Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Kini, pekerjaan rumah pemenang pilpres adalah melakukan rekonsiliasi antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, masyarakat Indonesia seakan terbelah ke dalam dua kubu, antara (mohon maaf) “kecebong” dan “kampret”. Bila Jokowi yang menang, maka keberadaan KH Maruf Amin sebagai wakil presiden kelak hendaknya didayagunakan untuk merangkul kalangan muslim yang selama ini cenderung merasa dikriminalisasi oleh Jokowi.

Dengan demikian, semangat “menang ojo umuk, kalah ojo ngamuk” bukan hanya berlaku usai pemilu saja, melainkan juga selamanya, selama bangsa Indonesia ini ada. Insya Allah!

Sebagai catatan, Pemilu 2019 ini cukup ruwet. Ada 5 surat suara yang harus dicoblos pemilih, yakni Presiden RI, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Tahun 2024 akan lebih ruwet lagi, karena pilkada juga akan digabungkan dengan pileg dan pilpres, sehingga akan ada 7 surat suara, atau ditambah dua untuk pemilihan gubernur dan bupati/walikota.

Hal ini bisa mengurangi kulitas pemilu. Sebab itu, ada baiknya para petinggi parpol berpikir ulang untuk memisahkan kembali pemilu eksekutif (presiden/gubernur/bupati/walikota) dengan pemilu legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota).

Perlu pula dipikirkan soal anggaran. Pemilu 2019 ini menelan anggaran Rp 25,5 triliun, bagaimana dengan Pemilu 2024 yang akan lebih kompleks? Itu baru biaya terukur, antara lain untuk KPU dan KPUD di 34 provinsi dan 562 kabupaten/kota, serta cetak surat suara dan alat peraga kampanye.

Namun ada biaya yang tak terukur atau unlimited yang jauh lebih besar, termasuk money politics atau serangan fajar. Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap para politisi menjelang pemilu membuktikan bahwa pemilu butuh biaya besar. Apalagoi ada ungkapan, “jer basuki mawa bea” (bila mau sukses maka harus ada biaya). 

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan  Anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Berita Rekomendasi
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas