Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bagaimana Bisa Lepas dari Cengkeraman Mafia Bola?
Rasanya ingin mengamuk, bukan? Kita merasa ditipu dan dibohongi oleh penjahat sepak bola tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
Tragedi "match fixing" juga kita alami saat pertandingan final Piala AFF 2010 di mana Timnas Indonesia “dipaksa” mengalah terhadap tuan rumah Malaysia.
Terjadinya campur tangan mafia bola dalam pertandingan tersebut diungkapkan Manajer Timnas Andi Darussalam Tabusalla beberapa waktu kemudian. Kejadian tersebut benar-benar merupakan penghinaan terhadap kehormatan bangsa dan negara.
Mengapa mafia sepak bola Indonesia sulit sekali dihapuskan? Menurut penuturan Suhendra Hadikuntono, Ketua Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN), karena melibatkan beberapa "tokoh besar" yang "untouchable" (tak tersentuh), yang dilindungi tokoh besar yang dekat dengan kekuasaan.
Penjelasan Suhendra ini diamini tokoh suporter nasional KP Norman Hadinegoro dan beberapa pemerhati sepak bola Indonesia.
Hal inilah yang menyebabkan usaha keras Presiden Joko Widodo membersihkan sepak bola kita dari praktik mafia seolah membentur tembok, karena kemungkinan besar Presiden Jokowi sengaja “dibuta-tulikan” oleh para pembantunya yang merupakan kaki tangan “The Godfather” mafia sepak bola Indonesia.
Itu PR (pekerjaan rumah) besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana kita bisa mengembalikan marwah sepak bola Indonesia melalui pertandingan yang penuh sportivitas dan orientasi pada prestasi?
Usaha keras dari KPSN yang tanpa pamrih harus kita dukung untuk membongkar habis mafia sepak bola Indonesia. Ini pasti bukan tugas yang gampang karena pengurus PSSI saat ini terlihat tidak kooperatif.
Pengurus PSSI selama ini berlindung di balik Statuta PSSI dan Statuta FIFA yang tidak menginginkan campur tangan pemerintah dan pihak luar PSSI.
Pun menjadi pertanyaan besar, mengapa masa kerja Satuan Tugas (Satgas) AntimMafia Bola Polri yang sedang "on fire" memberangus mafia sepak bola dibatasi hanya enam bulan?
Mengapa tidak dilanjutkan masa kerjanya sampai tuntas memberantas kecoa-kecoa mafia sepak bola di Indonesia? Hanya Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Tapi apa pun yang terjadi, kita sebagai masyarakat Indonesia harus tetap bersuara keras. Di samping berharap tugas mulia KPSN terus berjalan tanpa mengenal putus asa, langkah yang paling strategis adalah membersihkan pengurus PSSI dari oknum-oknum korup yang merusak persepakbolaan Indonesia.
Kita berharap dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang akan datang terpilih "orang gila yang waras", yang berani membersihkan internal PSSI dan berani melawan “The Godfather” mafia sepak bola. Jangan lagi PSSI dipimpin oleh orang-orang yang menggunakan PSSI untuk kepentingan pribadi dan politik seperti sebelumnya.
Saya tidak tahu siapa "orang gila yang waras" yang bisa menjadi Ketua Umum PSSI, tapi saya pribadi berharap sosok berani, tegas, bersih dan keras seperti Komjen M Iriawan atau Iwan Bule mau turun tangan menjadi Ketua Umum PSSI, dan berani memimpin pasukan untuk menyikat habis mafia sepak bola Indonesia.
Dengan dibantu KPSN dan aparat kepolisian yang "steril" dari iming-iming uang, mudah-mudahan sepak bola Indonesia kembali bersih dari virus pengaturan skor dan pada ujungnya ada prestasi yang bisa dibanggakan.