Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kebijakan Presiden Selalu Sinkronkah dengan Kepentingan Daerah?
Ini salah satu contoh kecil betapa seringnya kebijakan pemerintah pusat tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Rudi S Kamri
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa hari terakhir ini publik disuguhi tontonan yang tidak lucu dan tidak mendidik, yaitu terjadinya polemik panas di media massa antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly versus Walikota Tangerang, Banten, Arief R Wismansyah.
Ini salah satu contoh kecil betapa seringnya kebijakan pemerintah pusat tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah.
Ribuan masalah serupa dengan kasus berbeda kemungkinan terjadi, namun tidak terekspos media massa.
Penyebabnya adalah tidak adanya komunikasi konstruktif yang dibangun antara pemerintah pusat dan pemda.
Akibatnya, banyak kebijakan strategis pemerintah pusat atau kebijakan Presiden tidak dijalankan sesuai dengan tujuan mulia yang diinginkan. Ujungnya, masyarakat luas yang dirugikan atas silang sengkarut yang terjadi.
Contoh lain adalah rencana besar Presiden Joko Widodo untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Reformasi perizinan dengan cara memangkas secara signifikan birokrasi perizinan di tingkat pusat, khususnya yang dilakukan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kenyataannya tidak semua pemda mengikuti langkah positif yang dilakukan pemerintah pusat.
Akibatnya iklim investasi yang kondusif seperti harapan Presiden tidak kunjung terealisasi.
Banyak hal yang menjadi biang keladi tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan pemda. Salah satunya adalah belum terbentuknya etos kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) secara menyeluruh sehingga adagium, "kalau bisa dipersulit mengapa harus dimudahkan?” terus terpelihara.
Mindset koruptif seperti ini masih menjadi virus menjijikkan yang terjadi di berbagai daerah. Belum lagi ada kepentingan politik yang melatarbelakanginya.
Bahkan kepala daerah dari kubu koalisi yang berbeda dengan koalisi pendukung Presiden terkadang ada kesengajaan untuk menggergaji kebijakan pemerintah pusat.
Dampak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung juga bisa berpotensi menimbulkan langkah kebijakan yang sengaja dibuat berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat. Tujuan mempersulit birokrasi perizinan di level daerah dalam hal ini adalah untuk kepentingan mengumpulkan modal untuk membiayai perhelatan kontestasi pilkada.
Belum lagi adanya indikasi ribuan peraturan daerah (perda) yang tidak sinkron dengan peraturan pemerintah pusat. Intinya banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan pemda.
Pertanyaannya, siapa yang berkewajiban menjadi alat Presiden untuk memonitor agar kebijakannya dilaksanakan atau menjaga sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemda?
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.