Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Strategi Sun Tzu dalam Pemberantasan Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, 79% terdakwa korupsi divonis ringan, yakni 1 hingga 4 tahun penjara.
Editor: Hasanudin Aco
Wakil Ketua KPK lainnya, Basaria Pandjaitan, mengklaim selama empat tahun ini pihaknya selalu masif melakukan pencegahan korupsi ke setiap daerah di Indonesia.
Bahkan, angka persentase pencegahan lebih besar daripada angka persentase penindakan yang dilakukan KPK.
Basaria mengklaim dalam upaya pencegahan itu KPK tidak henti-hentinya mengingatkan para pejabat di daerah agar tidak melakukan penyimpangan. Bila sudah diingatkan berkali-kali namun tak dihiraukan, maka akan dilakukan penindakan.
Sepanjang 2014-2019, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 105 kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi daerah di 22 provinsi. Dari 105 kasus itu, 90 di antaranya melibatkan bupati atau walikota, dan 15 kasus lainnya melibatkan gubernur.
Basaria memang perlu menyuarakan hal itu untuk menepis suara-suara sumbang terhadap KPK, terutama dari kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang menilai KPK justru gagal dalam melakukan pemberantasan korupsi, karena faktanya angka korupsi di Indonesia masih tinggi.
Penindakan-penindakan melalui OTT yang dilakukan KPK selama ini mereka nilai sekadar pencitraan belaka.
Memang, dalam hal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada empat tahun terakhir justru Indonesia cenderung stagnan. Skor CPI Indonesia 2015-2018 berturut-turut adalah 36, 37, 37 dan 38.
Idealnya, pencegahan dan penindakan dilakukan KPK secara berimbang. Namun bila berkaca dari ICAC Hongkong, bukankah penindakan itu juga merupakan bagian dari upaya pencegahan korupsi?
Bahkan pencegahan dengan cara penindakan, sebagaimana strategi perang Sun Tzu, jauh lebih efektif bila dibandingkan dengan hanya pencegahan saja.
Lagi pula, bukankah upaya pencegahan korupsi juga sudah dilakukan oleh instansi-instansi lain, seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen) di kementerian-kementerian, serta Inspektorat Wilayah (Itwil) di provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota?
Bila KPK lebih berkutat pada upaya pencegahan korupsi, maka energi KPK akan terkuras habis hanya untuk melakukan pencegahan, sehingga upaya penindakan akan terabaikan.
Apalagi, upaya penindakan ini sangat diperlukan sebagai shock teraphy (terapi kejut) dan untuk memicu deterrence effect (efek jera). Shock teraphy dan deterrence effect ini merupakan bagian dari pencegahan korupsi.
Dengan adanya shock teraphy, ketika koruptor ditangkap, maka calon koruptor lain akan mengalami ketakutan, sehingga niat mereka untuk melakukan korupsi pun bisa jadi diurungkan.
Dengan adanya deterrence effect, ketika para koruptor sudah ditangkap, kelak ketika mereka sudah bebas dari penjara diharapkan tidak akan melakukan korupsi lagi karena sudah jera atau kapok.