Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Strategi Sun Tzu dalam Pemberantasan Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, 79% terdakwa korupsi divonis ringan, yakni 1 hingga 4 tahun penjara.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - “Pertahanan terbaik adalah menyerang,” kata Sun Tzu (544-496 SM), jenderal, filsuf dan ahli strategi militer asal Tiongkok kuno.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menerapkan strategi ala Sun Tzu ini dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Rabu (4/9), menyatakan, penindakan dengan cara operasi tangkap tangan (OTT) masih diperlukan.
Sebagai aparat penegak hukum, KPK tak boleh mendiamkan bila terjadi tindak kejahatan.
Menurut Laode, OTT merupakan salah satu cara KPK melakukan penindakan kejahatan korupsi. Akan menjadi hal yang aneh jika penegak hukum malah seolah-olah membiarkan terjadinya kejahatan.
Tidak itu saja, Laode bahkan menyatakan pencegahan korupsi yang paling efektif adalah penindakan yang konsisten.
Artinya, KPK tidak sekadar defensif dengan hanya melakukan pencegahan, tetapi juga ofensif dengan melakukan penindakan, salah satunya dengan OTT, karena pertahanan terbaik adalah menyerang. Pemberantasan korupsi terbaik adalah dengan melakukan penindakan.
Bila dulu Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya menuntut ilmu hingga ke negeri Tiongkok, kini KPK pun berguru ke Hongkong yang masih menjadi koloni Tiongkok.
Laode mengaku belajar dari Independent Commission Against Corupption (ICAC) atau komisi pemberantasan korupsi Hong Kong.
Menurut ICAC, sebagaimana dikutip Laode, pencegahan korupsi yang paling efektif adalah penindakan yang konsisten. ICAC pun hingga kini masih melakukan penindakan-penindakan dalam pemberantasan korupsi.
Laode menegaskan, pencegahan korupsi yang paling efektif adalah penindakan yang konsisten, karena tujuan hukum itu agar ada efek penjeraan, atau dalam dunia militer dikenal sebagai efek gentar (deterrence effect).
Tapi, tidak berarti upaya pencegahan tidak dilakukan. Pencegahan dan penindakan harus dilakukan secara simultan, paralel dan seimbang, ibarat dua sisi dari mata uang yang sama.
Data KPK, selama tahun 2018 lembaga antirasuah ini melakukan OTT sebanyak 30 kali, sedangkan untuk tahun 2019 ini KPK baru melakukan OTT sebanyak 15 kali.
Wakil Ketua KPK lainnya, Basaria Pandjaitan, mengklaim selama empat tahun ini pihaknya selalu masif melakukan pencegahan korupsi ke setiap daerah di Indonesia.
Bahkan, angka persentase pencegahan lebih besar daripada angka persentase penindakan yang dilakukan KPK.
Basaria mengklaim dalam upaya pencegahan itu KPK tidak henti-hentinya mengingatkan para pejabat di daerah agar tidak melakukan penyimpangan. Bila sudah diingatkan berkali-kali namun tak dihiraukan, maka akan dilakukan penindakan.
Sepanjang 2014-2019, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 105 kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi daerah di 22 provinsi. Dari 105 kasus itu, 90 di antaranya melibatkan bupati atau walikota, dan 15 kasus lainnya melibatkan gubernur.
Basaria memang perlu menyuarakan hal itu untuk menepis suara-suara sumbang terhadap KPK, terutama dari kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang menilai KPK justru gagal dalam melakukan pemberantasan korupsi, karena faktanya angka korupsi di Indonesia masih tinggi.
Penindakan-penindakan melalui OTT yang dilakukan KPK selama ini mereka nilai sekadar pencitraan belaka.
Memang, dalam hal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada empat tahun terakhir justru Indonesia cenderung stagnan. Skor CPI Indonesia 2015-2018 berturut-turut adalah 36, 37, 37 dan 38.
Idealnya, pencegahan dan penindakan dilakukan KPK secara berimbang. Namun bila berkaca dari ICAC Hongkong, bukankah penindakan itu juga merupakan bagian dari upaya pencegahan korupsi?
Bahkan pencegahan dengan cara penindakan, sebagaimana strategi perang Sun Tzu, jauh lebih efektif bila dibandingkan dengan hanya pencegahan saja.
Lagi pula, bukankah upaya pencegahan korupsi juga sudah dilakukan oleh instansi-instansi lain, seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen) di kementerian-kementerian, serta Inspektorat Wilayah (Itwil) di provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota?
Bila KPK lebih berkutat pada upaya pencegahan korupsi, maka energi KPK akan terkuras habis hanya untuk melakukan pencegahan, sehingga upaya penindakan akan terabaikan.
Apalagi, upaya penindakan ini sangat diperlukan sebagai shock teraphy (terapi kejut) dan untuk memicu deterrence effect (efek jera). Shock teraphy dan deterrence effect ini merupakan bagian dari pencegahan korupsi.
Dengan adanya shock teraphy, ketika koruptor ditangkap, maka calon koruptor lain akan mengalami ketakutan, sehingga niat mereka untuk melakukan korupsi pun bisa jadi diurungkan.
Dengan adanya deterrence effect, ketika para koruptor sudah ditangkap, kelak ketika mereka sudah bebas dari penjara diharapkan tidak akan melakukan korupsi lagi karena sudah jera atau kapok.
Mengapa penindakan demi penindakan yang dilakukan KPK gagal menjadi shock teraphy dan tidak menimbulkan deterrence effect? Terbukti, kasus korupsi di Indonesia masih marak.
Namun, kegagalan tersebut tak bisa semata-mata dibebankan kepada KPK, tetapi juga kepada lembaga peradilan mulai dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Tipikor di tingkat banding, hingga Mahkamah Agung (MA).
Sebab, banyak terdakwa korupsi yang akhirnya dijatuhi hukuman ringan, sehingga tidak menakutkan bagi calon koruptor lainnya, dan tidak membuat jera atau kapok koruptor itu sendiri.
Terbukti ada koruptor yang setelah bebas dari penjara, mereka kembali melakukan korupsi atau menjadi residivis korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, 79% terdakwa korupsi divonis ringan, yakni 1 hingga 4 tahun penjara.
ICW juga mencarat, setidaknya ada tiga residivis korupsi, yakni Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Ketua DPRD Jawa Timur M Basuki, dan Ketua KONI Samarinda Aidil Fitri.
Belakangan Bupati Kudus M Tamzil juga menjadi residivis korupsi.
Kita juga kerap menyaksikan koruptor saat digiring ke KPK atau mengadilan menunjukkan ekspresi tanpa beban atau bahkan masih sempat tersenyum bahkan tertawa.
Sebab itu, langkah KPK menerapkan strategi Sun Tzu dalam pemberantasan korupsi sungguh tepat.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat media, tinggal di Jakarta.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.