Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Karpet Merah Buat Koruptor

Mungkin hanya di Indonesia koruptor diperlakukan istimewa hingga diberi karpet merah.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Karpet Merah Buat Koruptor
Ist/Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Mungkin hanya di Indonesia koruptor diperlakukan istimewa. Eksekutif dan legislatif bahkan menggelar karpet merah buat koruptor.

Lalu bagaimana dengan yudikatif? Mungkin setali tiga uang.

Dengan dalih demi kepastian hukum dan hak asasi manusia (HAM), sambil menafikan common sense yang disuarakan mahasiswa, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secepat kilat merevisi Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memberi ruang bagi koruptor untuk bergerak leluasa. Betapa tidak?

Dengan revisi UU KPK yang disahkan DPR pada Selasa (17/9/2019) lalu itu KPK menjadi tak berdaya, karena punya Dewan Pengawas, dan bila mau melakukan intersepsi atau penyadapan harus seizin Dewan Pengawas ini, sehingga peluang KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dipersempit.

Baca: LIVE STREAMING Mata Najwa Ujian Reformasi Pukul 20.00 WIB, Najwa Shihab Mention Bambang Soesatyo

Tidak itu saja, Dewan Pengawas KPK juga dipilih Presiden sehingga bisa menjadi alat kepentingan politik Presiden.

KPK juga diberi kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang memberi peluang KPK "main mata" dengan tersangka.

BERITA REKOMENDASI

Penyadapan dan penyidikan yang selama ini pengawasannya dilakukan secara tak langsung oleh pengadilan, bisa dibatalkan oleh praperadilan karena dianggap tidak sah, atau divonis bersalah secara sah dan meyakinkan, ternyata dianggap tak cukup oleh pemerintah dan DPR.

Karpet merah bagi koruptor juga disiapkan eksekutif dan legislatif melalui revisi UU Pemasyarakatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam RUU Pemasyarakatan yang akan menggantikan UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pemerintah dan DPR sepakat akan mempermudah pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime seperti korupsi dan terorisme.

RUU Pemasyarakatan akan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Konsekuensinya, pemerintah dan DPR menyepakati penerapan kembali PP No 32 Tahun 1999 tentang Pemberian Pembebasan Bersyarat, dengan dalih PP 32/1999 tersebut berkorelasi dengan RUU KUHP.

PP No 99/2012 mengatur prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat, salah satu syaratnya mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk ikut membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator.


Pasal 43B ayat (3) PP No 9/2012 mensyaratkan rekomendasi dari KPK sebagai pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dalam memberikan remisi. Sedangkan PP No 32/1999 yang akan kembali dijadikan acuan dalam RUU Pemasyarakatan ini tak mencantumkan persyaratan itu.

PP 32/1999 hanya menyatakan remisi bisa diberikan bagi setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas