Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Karpet Merah Buat Koruptor
Mungkin hanya di Indonesia koruptor diperlakukan istimewa hingga diberi karpet merah.
Editor: Hasanudin Aco
Tidak itu saja, Pasal 9 dan 10 RUU Pemasyarakatan juga mengatur hak cuti bersyarat bisa digunakan oleh narapidana untuk keluar lembaga pemasyarakatan (lapas) dan pulang ke rumah atau jalan-jalan ke mal sepanjang didampingi oleh petugas.
Pasal ini menyatakan narapidana punya hak mendapat cuti bersyarat dan kegiatan rekreasi.
Sementara itu, RUU KUHP yang akan menggantikan UU No 1 Tahun 1946, sejumlah pasalnya kontroversial.
Sebagai contoh, hukuman koruptor lebih ringan dalam RUU KUHP daripada dalam UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam UU Tipikor, minimal hukuman korupsi memperkaya diri sendiri adalah 4 tahun penjara, sedangkan dalam RUU KUHP menjadi 2 tahun penjara.
Selain itu, ancaman hukuman mati untuk koruptor di RUU KUHP juga sudah tidak ada.
Lebih parah lagi, DPR mengubah paradigma korupsi dari kejahatan luar biasa atau extraordinary crime menjadi kejahatan ekonomi.
Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil berpendapat, korupsi adalah kejahatan keuangan, karena itulah paradigma tersebut mendorong penegak hukum fokus pada pengembalian uang negara, bukan pemenjaraan secara fisik.
Padahal tujuan dari pemidanaan, khususnya tipikor, selain mengembalikan narapidana ke masyarakat untuk bisa hidup normal kembali, adalah menciptakan efek jera atau deterrence effect bagi terpidana itu sendiri sehingga kapok atau tobat, dan shock teraphy atau terapi kejut bagi calon koruptor lainnya.
Kalau koruptor hukumannya ringan, dan di lapas pun diizinkan untuk keluar rekreasi ke mal, jangan berharap akan muncul efek jera dan efek getar. Ini jauh panggang dari api.
DPR salah kaprah bila menganggap hukuman yang berat dan syarat-syarat remisi yang juga berat bagi koruptor itu diskriminatif dan berpotensi melanggar HAM.
Pembatasan hak dan ruang gerak koruptor tak bisa dimaknai diskriminatif dan melanggar HAM, melainkan itu pantas bagi mereka.
Bukankah koruptor juga telah melanggar hak bagi orang banyak, seperti hak untuk sejahtera. Akibat ulah koruptor, angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi.
Mengapa eksekutif dan legislatif berkepentingan melemahkan KPK? Sejauh ini sudah banyak menteri yang ditangkap KPK.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.