Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
KH Imam Jazuli Sampaikan Gagasan Bentengi Masyarakat Dari Ideologi HTI
Tetapi gagal menyiapkan perangkat operasional untuk membentengi publik dari ideologi HTI sebagai sebuah manhajul fikr (epistemologi)
Editor: Husein Sanusi
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
Ibarat sebuah tubuh, ideologi adalah ruhnya. Tubuh yang sakit, bahkan diamputasi, tidak mempengaruhi keberadaan ruh. Ruh akan hidup selama takdir dan alam memanggilnya kembali ke hadirat Ilahi. Itulah yang terjadi pada gerakan ideologis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
HTI sebagai organisasi massa dianggap penyakit, dan kini telah diamputasi. Negara telah resmi menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Statusnya sebagai organisasi mirip dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan, dalam RUU KUHP, telah dinyatakan bahwa penyebar ideologi yang berniat menggantikan Pancasila sebagai tindak pidana. Kehadiran HTI bagai penyakit diabetes yang harus diamputasi.
Namun, organisasi yang dibentuk tahun 2000 itu terus menjadi hantu gentayangan. Kecenderungan massa publik dalam mengidealkan negara khilafah tidak pernah padam. Nyala terangnya semakin bersinar di setiap aksi-aksi demonstrasi. Bendera HTI, seruan Khilafah, mengiringi setiap kritik sosial-politik yang ditujukan pada kegagalan pemerintah. Undang-undang apa yang bisa mencegah kebebasan berpendapat dan berserikat?
Sebuah pandangan dari Prof. Hasan Ko Nakata (Presiden Asosiasi Muslim Jepang) dikutip dalam laman HTI (http://hizbut-tahrir.or.id, 2011). Indonesia adalah tempat yang memenuhi persyarakatan untuk mendirikan kembali khilafah. Diperkuat oleh dedengkot HTI, Muhammad Ismail Yusanto (2006), bahwa Indonesia merupakan salah satu sasaran penting tegaknya khilafah. Semangat ini tidak pernah surut hingga kini.
Bahaya laten Hizbut Tahrir Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Dick Cheney telah menemukan fakta mengejutkan. Para pendukung ideologi ini tidak saja kalangan intelektual dan mahasiswa, melainkan juga kalangan buruh, pegawai negeri, pengusaha, teknokrat, dan tentunya para alim ulama. Semua pakar mengiyakan potensi Indonesia sebagai sasaran utama ideologi internasional ini (Kurnia, 2004).
Pembubaran HTI berdasar undang-undang hanya memberikan otoritas bagi pemberangusan ideologi secara militeristik. Tetapi gagal menyiapkan perangkat operasional untuk membentengi publik dari ideologi HTI sebagai sebuah manhajul fikr (epistemologi). Perlawanan kultural dilakukan suka rela oleh para akademisi yang jengah dengan HTI dan ideologi Khilafah, bukan fasilitas yang disediakan negara.
Sepintas memandang kombinasi larangan hukum atas HTI dan perlawanan kultural akademisi merupakan duet yang memadai. Publik yang mau pembenaran hukum dan legitimasi ilmiah agar terbebas dari pengaruh ideologi HTI sudah terfasilitasi. Namun, sekali lagi, tubuh yang ‘dicacati’ bukan alasan ruh di dalamnya menjadi mati. Inilah alasan gurita HTI sulit diatasi.
Ken Ward (2009) menulis artikel non-violent extremists? Hizbut Tahrir Indonesia. HTI menolak terang-terangan dirinya dituduh gerakan ekstrimis-fundamental, namun gerakan mereka tidak mencerminkannya. Standard ganda ini adalah pola yang terus-menerus berulang dalam rangka rekrutmen anggota. Indoktrinasi menjadi pola umum mereka. Pendidikan dan kajian ilmiah jalurnya. Lantas, bisakah dicegah?
Penulis rasa, menghadapi bahaya laten HTI dan ideologi khilafah bukan semata tugas politis, melainkan tanggungjawab pendidikan, sosial, dan budaya. Secara politik, Negara Indonesia melarang ideologi komunisme, tetapi memihak demokrasi, yang kadang praktiknya cenderung liberal. Sedang ide khilafah dari HTI sama-sama menentang komunisme maupun demokrasi. Di level ini saja sudah problematis, karena HTI sejalan dengan negara dalam memusuhi komunisme-leninisme-marxisme.
Secara hukum negara memang perkasa dengan membubarkan organisasi HTI. Namun, secara ideologi bermasalah, hal itu bisa dilihat dari cara HTI mengkritik pemerintah dengan cara menunggangi nalar-nalar epistemologis komunisme. Ketika negara mulai cenderung menunjukkan kecondongan pada praktik liberalisme-kapitalistik, ruang tembak bagi HTI terbuka lebar. Dan itu sangat efektif mempengaruhi nalar calon anggota baru mereka.
Cacat nalar hukum di negara ini adalah ketidakjeliannya membedakan satu ideologi dari ideologi lainnya, dan sikap politis yang dipilih. Melarang komunisme dan mengambil demokrasi seperti pedang bermata dua. Karenanya, aksi-aksi massa belakangan ini dimotori oleh ketidakpuasan publik atas negara yang cenderung kapitalistik. Dan negara tidak sadar bahwa itulah spirit nalar komunisme-sosialis.
Tidak heran ketika kebakaran hutan terjadi. Tiba-tiba viral foto lucu dan menggelikan yang memperlihatkan kritik atas pemerintah dari pendukung khilafah dengan memanfaatkan isu kebaran lahan hutan. Bagi mereka, khilafah adalah solusi atas kebakaran hutan. Narasi demi narasi recehan begini akan terus berevolusi dalam ragam bentuk, selama pemerintah terus melakukan kegagalan dalam mempraktekkan demokrasi yang cenderung liberal-kapitalistik.
Bahaya laten HTI bukan terletak pada gagasannya mengusung khilafah yang bertentangan dengan Pancasila, NKRI, dan UUD ’45. Tetapi, negara harus sadar bahwa dirinya membuka diri untuk dikritik lantaran demokrasi yang diusungnya cenderung kapitalistik-liberal. Bersama sisa-sisa nalar sosialis-komunis, HTI bisa bergandengan tangan. Memanfaatkan situasi demi tujuannya. Sebab, satu-satunya nalar paling keras mengkiritk demokrasi adalah komunis. HTI bersama ‘komunis’ dalam melawan penguasa demokrasi.
*alumni Universitas al-Azhar, Mesir; alumnus Universitas Kebangsaan Malaysia Departemen Politik dan Pertahanan; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia; Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah; Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.